Kamis, 14 Maret 2013

OTONOMI KHUSUS PAPUA




OTONOMI KHUSUS PAPUA
SEBAGAI
LANDASAN HUKUM REPRESIF NEGARA INDONESIA
DI TANAH PAPUA




  1. PENDAHULUAN
Diseluruh wilayah Indonesia terdapat dua propinsi yang diberikan status spesial oleh jakarta untuk mengelola tata pemerintahannya. Kedua propinsi itu adalah Propinsi Papua dan Propinsi Nagro Aceh Darusalam, pemberiannya didasarkan oleh latar belakang Politik yang jelas dan telah menjadi rahasia publik dinegara indonesia dimana kedua Propinsi itu ingin melepaskan diri dengan negara indonesia dan mendirikan sebuah negara merdeka.

Latar belakang politik kedua propinsi itu yang menjadi persoalan fundamental disana sehingga melalui pandangan itu telah melahirkan sekian ribu pelanggaran HAM dalam bingkai Negara Hukum Indonesia. Selutuh tindakan pelanggaran HAM dimaksud justru mendapat restu oleh sistim hukum indonesia, padahal secara esensial tindakan tersebut telah menodai Hak Asasi Manusia yang menjadi latar belakang dibentuknya Hukum.

Keabsahan negara hukum indonesia sesuai dengan amanah UUD 1945 patut dipertanyakan, apakah lahir/ada untuk melindungi HAM ataukah sebaliknya untuk menghilangkannya ?, jika demikian kenyataannya maka lantas apa yang akan dilindungi oleh hukum diwilayah Indonesia khususnya di Propinsi Papua dan Propinsi Nangro Aceh Darusalam. Prof. Mahmud.MD menyimpulkan bahwa Hukum Adalah Prodak Politik, dengan demikian memberikan kejelasan terkait yang dilindungi oleh Hukum dinegara indonesia.
Pendapat Prof Mahmud MD terkait Hukum sebagai Prodak Politik, dan melihat mental/watak politikus dan penguasa di negara Indonesia yang sudah menjadi hamba pemilik modal akhirnya mengantarkan pandangan pada Teori Subernetik yang digagas oleh PARSON, beliau menjelaskan bahwa :
hukum seperti jaring laba-laba dimana dalam penyusunannya jika berjalan dari; Budaya, Sosial, Politik, Ekonomi maka akan menciptakan Hukum Yang Berdiri Atas Nilai, namun jika penyusunannya berjalan terbalik dari Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya maka akan menciptakan Hukum Yang Berdiri Atas Energik.

Menurut Philipe Nonet suatu kekuasaan pemerintah dibilang represif jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika suatu kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka yang diperintah, atau dengan mengingkari legitimasi mereka, dengan demikian posisi mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah.[1] Selain itu beliau memberikan definisi Rezim Refresif ialah Rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistim yang berlaku dalam hal keistimewaan dan kekuasaan. Tetapi menurut beliau dalam beberapa hal dan hingga tingkat tertentu setiap tatanan politik itu bersifat represif.[2] Secara bentuk beliau menjelaskan bahwa represif juga terjadi ketika kekuasaan bersifat lunak tetapi hanya sedikit memperhatikan, dan tidak secara efektif dikendalikan oleh, berbagai kepentingan yang ada. Bentuk represif yang paling kentara adalah pengunaan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihajk yang tidak patuh atau menghentikan protes, sedangkan bentuk represif yang halus dan dilakukan secara tidak langsung dengan mendorong dan mengeksploitasi persetujuan pasif.[3]

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua merupakan dasar legalnya. Sejak diberlakukannya UU tersebut sampai saat ini telah menuai berjuta kritikan karena kehadirannya tidak memberikan perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat Papua, sehingga pada kesempatan lain para Tokoh Mayarakat dan Tokoh Agama terkemuka di Tanah Papua, seperti Dr. Benny Giay, S.Th, Pdt. Socrates Sofian Nyoman, S.Th, dan lainnya menyimpulkan bahwa OTSUS PAPUA GAGAL.

Dengan demikian maka pertannya selanjutnya adalah pemberlakuan UU OTSUS BAGI PAPUA tersebut untuk melindungi Apa, dan Siapa ?, pertanyaan ini yang akan menjadi petunjuk dalam membeda persoalan topik ini. 

  1. SEJARAH PAPUA DALAM PUSARAN EKONOMI POLITIK
Tanah Papua merupakan pulau yang memiliki ukuran besar kedua di dunia setelah Greend Land atau Tanjung Harapan, keunikan bentuknya juga memberikan nilai tersendiri yang mengangkatnya pada gerbang pariwisata dunia. Selain kedua hal itu kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi dan diatasnya yang jumlahnya sanggat besar itu menjadi incara negara-negara Seper Power dan Maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, Cina, Jepang, dan lain sebagainya.

Sejarah pengulingan Soekarno melalui skenario G30SPKI yang dimotori oleh Soeharto dan diboncengi oleh CIA telah menjelaskan secara detail sandiwara politik Amerika Serikat untuk memuluskan Soeharto memangku jabatan Presiden. Skenario itu menjadi semakin nyata dengan diberlakukan kebijakan politik pertama Soeharto setelah menjabat sebagai presiden dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang merupakan cerminan dari Politik Balas Budi  Soeharto atas bantuan Amerika Serikat. Kebijakan politik itu selanjutnya menjadi gerbang hadirnya PT. Freeport Mc Morand and Gold Coper (kini PT.FI) yang berbasis di tembagapura Papua, artinya wilayah Papua dijadikan tumbal bagi kepentingan politik Soeharto, dan sekaligus menjawab kepentingan politik indonesia untuk menguasai wilayah Papua Barat.

Berdasarkan sejarah, ambisi Indonesia untuk menguasai Tanah Papua bukan baru dimulai sejak hadirnya Amerika Serikat dan kepentingan Ekonomi Politiknya itu. Pada saat pelaksanaan Rapat Umum BPUPKI Ir.Soekarno sudah menunjukan sikap untuk menduduki Tanah Papua atas dasar pertimbangan ekonomi politik, sehingga terkesan memiliki ambisi terselubung dengan Amerika Serikat terkait Ekonomi Politik. Sikap itu jelas terlihat dalam perdebatan Soekarno dan Mohammad Hatta terkait status wilayah Tanah Papua dalam wilayah NKRI, seperti yang terlihat dalam beberapa argumen kedua Fanding Father Negara Indonesia dibawah ini;
· Mohammat Hatta berpendapat dengan pertimbangan perbedaan rumpun antara orang papua (Melanesia), dan orang indonesia (Melayu) sehingga biarlah mereka menentukan nasib mereka sendiri.
· Ir. Soekarno berpendapat dengan pertimbangan sebagai seorang ex digulis dan kesamaan penjajah, klaim sejarah yang keliru dimana Papua adalah wilayah bekas kerajaan Majapahit pada masa kejayaan Pati Gajah Mada, dan atas pertimbangan ekonomi politik dimana wilayah tersebut memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah dapat memberikan bekal bagi anak cucu indonesia, dan secara politik wilayahnya yang strategis dapat dijadikan pangkalan untuk menghalau penetrasi-penetrasi asing diwilayah pasifik.

Kedua perdebatan itu kemudian diakhiri dengan mekanisme voting, berdasrkan hasil pemilihan maka opsi yang diusung Ir. Soekarno yang menjadi rekomendasi selanjutnya.[4]

Dengan demikian maka telah jelas bahwa jauh sebelum adanya kepentingan ekonomi politik Armeika Serikat, negara indonesia yang usia kemerdekaannya masih dalam beberapa hari itu sudah memiliki sikap serakah, egois, dan perampok untuk menjajah dan/atau mengkoloni wilayah Papua karena kekayaan alamnya.

Pandangan tersebut yang menjadi rujukan soekarno pada tanggal 19 desember 1961 mendeklarasikan TRIKORA di Alun-Alun Utara Yogyakarta, dan menunjuk Soeharto sebagai komandan dengan julukan sebagai Komando Mandala yang bermarkas di Ujung pandang (Sulawesi Selatan). Untuk diketahui bahwa TRIKORA lahir karena Soekaro mendengar bahwa pada tanggal 1 Desember 1961, Negara West Papua telah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah negara merdeka, namun usiannya hanya 19 hari karena TRIKORA dibentuk untuk mengagalkan Kemerdekaan Negara West Papua yang digambarkan oleh soekarno sebagai Negara Boneka Papua Buatan Kolonial Belanda seperti yang termuat dalam posin 1 isi TRIKORA yaitu “Gagalkan Negara Boneka Papua Buatan Kolonial Belanda 

Sejak tanggal 19 Desember 1961 wilayah papua disulap/diubah menjadi wilayah target Operasi Militer Indonesia. Landasan diluncurkannya TRIKORA mengunakan PEPRES Tahun 1961 sehingga dikategorikan sebagai landasan Represif Negara Indonesia di tanah papua jilid I (Pertama).

Target wilayah operasi militer indonesia ditanah papua berubah menjadi basis daerah operasi militer (DOM) pada tanggal 1 Mei 1963 dimana wilayah papua secara atministrasi diserahkan kepada pemerintah indonesia secara sementara sampai pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 berakhir. Peralihan kekuasaan itu didasari atas THE NEW YOORK AGREEMEND buah karya Amerika Serikat yang penuh muatan kepentingan Ekonomi Politik. Penandatangganan Generasi I (Pertama) Kontrak Karya PT. Freepor Mc Morand and Gold Coper pada tanggal 7 April 1967 merupakan implementasi kepentingan ekonomi politik amerika serikat dimaksud, sebab pada saat itu status wilayah papua sebagai wilayah persengketaan internasional antara Indonesia dan Belanda diatas keyakinan politik masyarakat adat papua sebagai sebuah negara merdeka.

  1. LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Status DOM diwilayah Papua yang diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1963 dicabut pasca REFORMASI pada tahun 1999 artinya Papua sebagai wilayah dengan status DOM diberlakukan selama 37 Tahun lamanya, pertannyaannya adalah berapa jumlah korban pelanggaran HAM yang telah berjatuhan ?, bagaimana cara mereka melakukan pelanggaran HAM disana ?, Siapa yang bertanggunjawab akan tindakan Pelanggaran HAM itu ?, dan apakah orang papua diciptakan, dilahirkan, dan dalam keberadaannya mungkin dalam bayang-bayang atau imajinasi kepentingan Politik indonesia secara hukum bukan sebagai subjek hukum (Manusia) sehingga tidak memiliki HAM maka dengan seenaknya pelanggaran HAM dilaksanakan.
Selama 2 (dua) tahun sejak tahun 1999 – 2000 terjadi kekosongan hukum bagi praktek represif negara di Tanah Papua, namun dalam prakteknya masih saja ditemukan kasus pelanggaran HAM seperti, Kasus Wamena Berdarah Oktober 2000, Kasus Nabire Berdarah 2000, dan lain-lain. Walaupun demikian dalam 2 tahun itu juga telah menunjukan nasionalisme Papua sehingga Kongres Papua ke-II dilaksanakan sebagai wujud terbukannya kran demokrasi yang telah 32 Tahun dibungkam oleh rezim diktator soeharto yang militeristik itu.

Berkat politik will indonesia melalui presiden Abdurahman Wahit sehingga nama Papua ditetapkan kembali, dan pada setiap tanggal 1 Desember bendera Bintang Kejora (bendera Negara West Papua) bebas dikibarkan disamping bendera merah putih. Namun sayang kebebasan itu hanya dirasakan oleh masyarakat adat papua sampai pada tahun 2001.

Dalam tenggang waktu diatas, atas nama masyarakat adat papua tokoh-tokoh papua yang tergabung dalam Tim 100 yang diketuai oleh Thom Beanal mampir ke Jakarta untuk meminta secara bermartabat kepada Presiden Republik Indonesia untuk keluar dari NKRI. Permintaan itu dijawab dengan diberikannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.  

  1. LANDASAN REPRESIF DI ERA REFORMASI
UU No 21 Tahun 2001 Tentang OTSUS Papua dipandang sebagai suatu jawaban yang tepat bagi papua oleh politikus jakarta karena didalamnya memuat kebebasan yang lebih, dan memiliki alokasi dana yang terbilang besar jika dibandingkan Propinsi lainnya.

Pembelokan persoalan kedalam isu ketimpangan sosial, dan kesejahteran yang diciptakan oleh politisi jakarta telah menjadi opini publik, namun sayang upaya itu hanyalah bagian dari bentuk pengalihan persoalan papua kedalam paradikma berpikir yang kotor oleh kepentingan ekonomi politik partai beserta donatur-donaturnya, dan secara tidak langsung memuluskan kembali secara legal kepentingan ekonomi politik Amerika Serikat diatas. Orang papua menyadari bahwa UU OTSUS merupakan produk yang lahir untuk membatasi orang papua karena adanya keinginan merdeka dari orang papua  yang telah memiliki sejarahnya sendiri dalam pemahaman politik orang papua. Persoalan keyakinan politik itu lagi-lagi yang menjadi persoalan fundamental di tanah papua.

Setelah mempelajari UU OTSUS ternyata keberadaannya hanya untuk mempermulus kepentingan Ekonomi Politik Indonesia, Amerika Serikat, dan negara lainnya sembari memuluskan tindakan pelanggaran HAM secara sistematis oleh Negara Republik Indonesia terhadap Masyarakat Adat Papua.

Perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Mc Morand and Gold Coper pada tahun 2003, dan Penandatangganan Kontrak Karya PT. Britis Petroleon dan PT LNG Tanggul di Teluk Bintuni Papua (Migas) 2003, dan lain sebagainya. Kasus Pembunuhan Pemimpin Besar Bangsa Papua Dortheis Hiyo Eluway 2001, Kasus Wasior Berdarah 2003, Kasus Pembunuhan Opinis Tabuni di hari Pribumi Internasional 2009, Kasus Pembunuhan Kelik Kwalik 2010, Kasus Pembunuhan Mako Musa Tabuni 2012, dan lain sebagainya. Seluruh kasus diatas merupakan bukti bahwa UU OTSUS hanyalah dasar legalitas baru yang keberadaannya hanya untuk memuluskan kepentingan ekonomi politik, dan pelanggaran HAM Masyarakat Adat Papua.

Secara jelas dalam UU OTSUS menjelaskan kewenagan Provinsi Papua pada Pasal 4, ayat 1; Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang menjadi pengecualiaan didalam rumusan pasal 4 ayat 1, menjadi kewenangan pemerintah pusat, untuk lebih jelasnya akan diurut kewenangan pemerintah pusat secara tersendiri, seperti :
1.      Bidang Politik Luar Negeri,
2.      Pertahanan Keamanan,
3.      Moneter dan fiskal,
4.      Agama,
5.      Peradailan dan kewenangan tertentu sesuai dengan UU.


Pemisahan kewenangan diatas, memperjelas status UU OTSUS sebagai dasar legal tindakan represif negara ditanah papua. Kenyataan penerapan hukum dilapangan yang selalu mengunakan alat keamanan negara yang akhirnya hanya meninggalkan pelanggaran HAM tanpa mengadili pelaku, dan hanya memberatkan aktifis dan tokoh pejuang HAM Papua dalam lembaga peradilan yang tidak independen (dikontrol oleh Pemerintah Pusat)  dengan Pasal Makar, Penghasutan, dan lain-lainnya memberikan bukti bahwa UU OTSUS merupakan landasan Represifitas Negara Indonesia di Tanah Papua jilid II (Dua). 

  1. OTSUS DITINJAU MENGUNAKAN PRINCIPLES OF LEGALITY
Berdasarkan latar belakang lahirnya UU OTSUS merupakan UU yang bersifat AD HOC, karena bersifat khusus untuk meredam ketegangan Politik masyarakat adat Papua yang ingin Merdeka diluar wilayah NKRI, peraturan didalamnya juga tidak bersifat aturan yang bisa dijadikan pedoman karena sampai sekarang belum ada aturan pelaksanannya seperti Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) untuk mengimplementasikannya kedalam masyarakat. Didalam aturan-aturan yang termuat dalam UU tersebut penuh muatan politik kepentingan.

Pada prinsipnya UU OTSUS sudah disosialisasikan kepada masyarakat hanya saja belum memiliki aturan pelaksana, walaupun ada hanya seberapa dan statusnya belum pernah disosialisasikan. Disamping itu proses sosialisasi yang maksimal dijalankan adalah jumlah dana Otsus yang terbilang besar jumlahnya.

Terkait beberapa kewenangan pemerintah pusat ditanah papua yang terkesan merupakan pasal yang memberikan sinyal adanya pasal yang berlaku surut. Sebagai contoh yaitu penambahan Pasukan Keamanan di Tanah Papua pada Tahun 1999 – 2000 secara jelas tidak memiliki aturan legal yang jelas, namun setelah lahirnya UU OTSUS terkesan memberikan dasar legal bagi tindakan pemerintah pusat untuk mengirim Pasukan Keamanan.

Sampai saat ini Masyarakat Adat Papua belum memahami isi rumusan UU OTSUS secara jelas karena dalam perumusannya tidak melampirkan keterangan penjelas secara rinci didalamnya, seperti biasanya dibuat pada aturan-aturan lainnya.

Dalam UU OTSUS ada beberapa pasal yang terlihat bertentangan sepeti dipasal atau ayat lain memberikan kewenangan, namun ternyata di pasal atau ayat lain tidak memberikan kewenangan. Seperti yang terlihat pada pasal 22 dimana ayat 1 memberikan kewenangan kepada Majelis Rakyat Papua, namun di ayat 2 membatasi kewenangannya dengan berpatokan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku secara umum.

Jika dilihat UU OTSUS dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat khusus bagi lembaga peradilan yang tidak independen telah membuktikan bahwa dalam ada suatu ketidak jelasan dalam memberikan kepastian hukum bagi yang membutuhkannya, sedangkan ketentuan yang selalu dikeluarkan oleh Lembaga Peradilan yang adalah corong kepentingan politik indonesia ditanah papua melebihi apa yang sebenarnya dilakukan oleh lembaga peradilan sehingga penegak hukum didalamnya tidak menunjukan sikap profesional

UU OTSUS masa berlakunya  selama 25 Tahun artinya UU OTSUS bersifat sementara dan akan berubah setelah masa waktunya berakhir, disamping itu ada beberapa kali perubahan UU OTSUS pasca lahirnya UU Tentang Propinsi Papua Barat, dan usulan UP4B terkesan ingin menghapus atau bahkan mengarahkan bergeraknya UU OTSUS.

Impelentasi UU OTSUS sungguh jauh dari harapannya karena tidak mencerminkan adanya perlindungan, pengembangan, dan pengakuan atas masyarakat papua.  terlebih lagi sampai saat ini belum ada aturan pelaksananya (PERDASUS) sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dipraktekkan sehati-hari jelas berbeda dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Pendapat Prof. Mahmud MD, dan Parson serta melihat implementasi UU 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua terkesan memuluskan kepentingan ekonomi politik sehingga Principles of legality (FULLER) wajib digunakan untuk melihat apakah UU OTSUS sudah memiliki Prinsip Of Legality. Fuller memberikan 8 (delapan) standar Principles of legality, sebagai berikut ;
  1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
  2. Peraturan yang dibuat itu harus diumumkan.
  3. Tdk boleh ada peraturan yang berlaku surut.
  4. Peraturan harus disusun dalam  rumusan yang bisa dimengerti.
  5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan peraturan yang bertentangan satu sama lain.
  6. Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan  yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
  7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah-rubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
  8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari

Beberapa pandangan diatas menunjukan bahwa UU OTSUS merupakan prodak politik yang penuh akan muatan politik dan sebenarnya tidak layak dikatakan Undang-Undang sebab berdasarkan  Principles of legality UU OTSUS tidak mencerminkan sebuah sikap yang tegas, lugas, jelas, dan dapat berlaku sebagai Undang-Undang di wilayah Papua. Keberadaannya justru memberikan ketidak jelasan sebab yang diartikan adalah jumlah Uang yang sanggat besar sedangkan implementasi aturan didalamnya sangat nihil dan dapat dikatakan telah bersimbah darah.
 

  1. PENUTUP
Dari pembahasan diatas telah jelas menunjukan bahwa hukum menjadi hamba kekuasaan, atau lebih tepatnya UU OTSUS menjadi hamba kepentingan politik Jakarta, terbukti dengan pendekatan-pendekatan mengunakan alat negara atau pendekatan militeristik yang selalu dipraktekan di seluruh tanah papua yang telah, sedang, dan akan melahirkan pelanggaran HAM. Dengan demikian  UU OTSUS dikategorikan sebagai landasan represifitas negara Indonesia atas wilayah, manusia, dan kekayaan Alam di seluruh tanah Papua.


[1] Nonet dan Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, hal. 33
[2] Ibid, hal. 34
[3] Ibid, hal. 35
[4] Berdasarkan keputusan itu sehingga sekian banyak kebijakan politik baik di tingkat Internasional dan Nasional Indonesia diciptakan oleh Indonesia untuk merebut Tanah Papua dari tangan Negara Belanda dan Masyarakat Pribumi Papua, seperti dengan : Menjadikannya sebagai salah satu topic pembahasan tambahan pada Konferensi Meja Bundar Di Den Hang Belanda pada tahun 1949, Menyelengarakan beberapa konferensi-konferensi khusus antara pemerintah belanda dan Indonesia tanpa melibatkan masyarakat pribumi papua yaitu Konferensi Malino, Konferensi Pangkal Pinang, dan Konferensi ……….., dan akhirnya pemerintah Indonesia mencetuskan TRIKORA pada tanggal 19 Desember 1961 (sebagai respon lahirnya negara west papua yang diproklamirkan pada tanggal 1 Desember 1961) melalui TROKORA wilayah papua dijadikan Daerah dengan status Target Daerah Operasi Militer (T-DOM) dari Tahun 1961 – 1963, dan selanjutnya dari tahun 1963 – 2013 wilayah Papua masi terus dijadikan dengan status Daerah Operasi Militer (DOM)

1 komentar: