Jumat, 22 Februari 2013

KONDISI PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK KONSTITUSI “HAK HIDUP” DI NEGARA INDONESIA



Setiap manusia dilahirkan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Lahirnya konsep negara berdasarkan usia terbilang baru karena konsep negara lahir dari hasil karya idelisme manusia yang berkembang dari jaman primitif dan mendapatkan bentuk kesempurnaannya dalam alam pikiran filsuf-filsuf yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles pada jaman feodalisme sehingga usia hak untuk hidup yang melekat pada diri setiap manusia sangat tua. Walaupun demikian penghargaan terhadap hak untuk hidup masih sanggat memprihatinkan, para filsuf diatas sangat merasakan dampak itu karena idealisme brilian itu mengakhiri hak untuk hidup mereka diujung tiang gantung, kelaparan, dan ditempat pengasingan (pembuangan) oleh penguasa pada masa itu.
Situasi yang sama masih terus terjadi sampai sekarang, lahirnya beberapa prodak hukum ditingkat internasional dalam bentuk Deklarasi Internasional, dan Kovenan Internasional secara materi formil telah mencantumkan perlindungan terhadap HAM terlebih khususnya hak untuk hidup, namun implementasinya tidak mampu menjamin hak untuk hidup manusia secara maksimal.
Indonesia adalah salah satu negara anggota PBB dan telah meratifikasi Deklarasi dan Kovenan seperti tercermin dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang SIPOL, dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang EKOSOB.
Jauh sebelum lahirnya beberapa prodak Undang-Undang dan bahkan sebelum lahirnya prodak hukum internasional diatas, UUD 1945 yang lahir beberapa hari setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 secara materil telah memperlihatkan adanya perlindungan terhadap Hak Untuk Hidup namun menjurus pada kesetaraan antara sesama manusia dalam hal memperoleh pekerjaan dan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selayaknya manusia normal, seperti yang tersirat pada pasal 27 ayat 2 : tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.[1]
Era reformasi memberikan ruang bagi penyempurnaan UUD 1945 sebanyak IV kali proses amandemen terhadap Lex Generali Indonesia sehingga secara materil perlindungan terhadap hak hidup telah mendapat tempat luas, dan detail termuat dalam Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia, dan dalam pasal 28 A – J dengan demikian penghargaan terhadap Hak Hidup menjadi suatu Hak Konstitusi di Negara Indonesia yang wajib dihargai oleh siapapun dan istitusi manapun (termasuk negara). Selama 19 Tahun sejak reformasi 1998 faktanya banyak kasus pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara yang terjadi, lahirnya beberapa Undang Undang diatas sebagai aturan pelaksana UUD 1945 juga tidak mampu membendung kasus pelanggaran itu.
Secara umum uraian pelanggaran terhadap Hak Konstitusi khususnya Hak Hidup dinegara indonesia sangat banyak karena jumlah korbannya mencapai ribuan bahkan jutaan ribu jiwa, berdasarkan sejarah pemerintahan-nya tergolong kedalam beberapa fase, Fase Pertama yaitu pelanggaran terhadap Hak Konstitusi pada masa Orde Lama, dan Orde Baru, dan Fase Kedua yaitu pelanggaran Hak Konstitusi pada masa Reformasi. Para pelakunya juga terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu; pertama Aparat Keamanan, dan kedua Masyarakat Sipil melalui media konflik horisontal, dan konflik vertikal, serta tindakan kekerasan yang dilakukan perorangan (keamanan/rakyat).
Pelanggaran terhadap hak konstitusi banyak dilakukan oleh aparat keamanan karena  setiap resim selalu mengedepankan tindakan represif dengan pendekatan militeristik seperti korban kasus Pemusnahan PKI, Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi I dan II, Penembakan Misterus (Petrus), Mati Misterus (Matius), Penerapan Satus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Sengketa Lahan antara Negara dan Rakyat, dan lain sebagainya yang masih terjadi sampai sekarang sehingga menciptakan citra buruk bagi aparat keamanan di negara indonesia yang adalah pelindung masyarakat indonesia berubah menjadi Aparat Keamanan Pembunuh Rakyat Indonesia yang komprador. Pelanggaran hak konstitusi yang dilakukan oleh Masyarakat Sipil terlihat dalam beberapa kasus seperti Konflik Cina dan Jawa, Madura, Poso, Ambon, Pilkada, Sengketa Lahan antar warga, Tawuran Pelajar/Mahasiswa, dan lain sebagainya.


Berdasarkan pengelompokan, dan latarbelakang pelaku secara otomatis akan membedakan lembaga peradilan yang berwenang mengadilinya, apabila pelakunya adalah masyarakat sipil dan polisi maka proses peradilannya di pengadilan Negeri, sedangkan apabila pelakunya adalah Aparat Keamanan (Militer) maka proses peradilannya di Pengadilan Militer. Terkait kepolisian dan beberapa lembaga penegak hukum lainnya juga memiliki Dewan Kehormatan sehingga apabila dilakukan oleh penegak hukum (Hakim, Jaksa, dan Polisi) maka langsung akan ditangani oleh Dewan Kehormatan, sehingga para pelaku pelanggaran Hak Hidup oleh penegak hukum terkadang dilindungi karena setiap keputusan Dewan Kehormatan terkesan menjurus pada perlindungan korps-nya masing-masing, hal itu mungkin disebabkan karena ketentuannya dibuat dan disahkan oleh lembaga penegak hukum itu sendiri tanpa melibatkan pihak lain.
Para pelaku pelanggaran Hak Konstitusi dari masyarakat sipil sudah banyak yang diadili di Pengadilan Negeri dan dijebloskan ke Lembaga Permasyarakatan (LP) sebagai ganjarannya seperti Para pelaku tindak pidana kriminal (pembunuhan), bahkan adapula yang telah dihukum mati seperti Amrosi Cs, Tibo Cs, Dr Ashari, Nurdin M Top, dan lain-lain. Namun yang masih menimbulkan pertanyaan adalah mengapa para pelaku pelanggaran Hak Konstitusi oleh Aparat Keamanan tidak mendapatkan hal yang sama, padahal kategori perbuatannya sama yaitu melakukan pembunuhan atau pencabutan hak konstitusi dari seseorang yang adalah pemilik sah atas hak itu yang keberadaannya tidak dapat diganggugugat atau bahkan dicabut oleh negara sekalipun. Berdasarkan hasil keputusan yang sering dikeluarkan oleh Pengadilan Militer dan Dewan Kehormatan Penegak Hukum (Polisi) tercatat lebih melindungi nama baik korpsnya tanpa melihat secara objektif perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya sehingga terkesan adanya pemeliharaan terhadap pelaku pelanggaran Hak Konstitusi yang dilakukan oleh Aparat Negara, sampai saat ini para pelaku pelanggaran Hak Konstitusi bebas melakukan aktifitasnya seakan tidak memiliki kesalahan apapuan, sebagai contohnya adalah Jenderal Besar Soeharto, Alm yang sampai diliang lahap sekalipun tidak pernah dihukum sesuai dengan perbuatannya, beberapa jenderal besar yang sekarang dilihat sebagai tokoh-tokoh nasional indonesia, dan lain sebagainya.
Latar belakang lahirnya pengadilan HAM dan Komas HAM beserta perangkat hukum pendukungnya sebenarnya hanya untuk melindungi para pelaku pelanggaran HAM Berat agar tidak diadili oleh Lembaga Peradilan ditinggkat Internasional, sebab jika sampai kesana maka secara objektif akan terbukti perbuatannya dan akan diketahui bahwa para pelaku pelanggaran Hak Konstitusi di Negara Indonesia adalah petingi-petingi Negara Indonesia itu sendiri sehingga dengan pertimbangan menjaga pamor negara Indonesia dimata Internasional maka dibentuklah Pengadilan HAM dan KOMNAS HAM.
Sejak berdirinya kedua lembaga itu apakah sudah mampu melindungi Hak Konstitusi setiap masyarakat indonesia atau bahkan mengurangi kasus pelanggaran terhadap Hak Konstitusi ?, sekalipun pada era reformasi yang terkesan baik dan terbuka karena asas keterbukaan yang dipraktekan pada segala bidang dan istitusi sehingga ruang-ruang demokrasi terbuka lebar, penghargaan terhadap HAM dijunjung tinggi, dan meletakkan hukum sebagai jenderal dalam rutinitasnya juga masih terlihat banyak sekali kasus pelanggaran Hak Konstitusi yang terjadi. Disamping itu penegakkan HAM oleh lembaga Peradilan HAM dan KOMNAS HAM masih terhambat oleh sistim hukum dan kepentingan Politik Partai dinegara  ini, perhatikan berkas-berkas Acara Kasus Pelanggaran HAM Berat yang sampai saat ini masih berada ditanggan DPR-RI seakan legislatif memiliki peran ganda dimana sebagai legislator, dan dalam kasus Pelanggaran HAM Berat bertindak sebagai Penyidik.
Kondisi umum penegakkan Hak Konstitusi dinegara indonesia masih sanggat memprihatinkan, walaupun telah banyak aturan hukum dan lembaga hukum pendukungnya dibentuk dimana-mana dan disetiap bidang serta dilengkapi dengan tenaga profesional yang kualitasnya sangat baik. Jika demikian kenyataannya maka dapat disimpulkan bahwa kehadiran aturan hukum dan lembaga pendukungnya hanya untuk merugikan dana negara yang adalah milik rakyat indonesia, sedangkan tenaga profesionalnya terbukti berkarakter intelektual tukang yang tidak bertaring sehingga keberadaannya juga hanya untuk mengeruk dana rakyat secara sistematis karena tidak mampu melindungi Hak Konstitusi (hak hidup) setiap warga negara Indonesia yang telah dijamin dalam UUD 1945.
Secara pribadi saya sanggat sependapat dengan pendapat Artejo Alkostra bahwa Negara Ini Tanpa Hukum, dan pendapat Mahfud, MD bahwa Hukum adalah Prodak Politik. Kedua pandangan itu secara detail menunjukan kondisi hukum dan penegakkannya dinegara indonesia, sehingga untuk melindungi Hak Konstitusi warga negara yang dikebiri oleh Aparat Keamanan dan demi penegakkan hukum dan HAM di negara indonesia, serta menciptakan iklim penghargaan terhadap HAM dan Hak Kostitusi maka khusus bagi kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat sebaiknya diadili diluar negeri dengan mengunakan perangkat hukum internasional.

Pekerja Hukum Pribumi Papua
“Kritikkanmu adalah Pelitaku”


[1] UUD 1945 sebelum Amandemen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar