TUNTUTAN
HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA PAPUA
HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA PAPUA
MENGUNAKAN MEKANISME
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
MERUPAKAN HAK KOSTITUSIONAL DI INDONESIA
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
- Pendahuluan
Sebagai kaum yang terpelajar, sikap Mahasiswa
Papua dalam menuntut Hak menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua megunakan
mekanisme UU Nomor 9 tahun 1999 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
dimuka umum merupakan bentuk riel dari implementasi “Pengabdian Kepada Masyarakat”
yang merupakan perintah Tri Darma
Perguruan Tinggi di Indonesia. Selain itu, pengabdian kepada masyarakat
dijamin pula pada pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 junto Pasal 14 dan
Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dengan demikian eksistensi
perjuangan mahasiswa papua perlu dihargai dan dihormati oleh seluruh warga
negara indonesia.
Melalui beberapa kasus pembungkaman
ruang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum (selanjutnya, kebebasan berekspresi, red) dengan alasan yang sanggat politik dan mempertaruhkan kemanan
negara sebagai alibi pembungkaman sebagai contoh yang terjadi di Kota
Pendidikan Yogyakarta. Melalui pemberitaan isu Separatis dan Makar diopinikan
oleh pihak kepolisian hanya untuk melegalkan pembungkaman ruang demokrasi, baik
dengan cara “menolak surat pemberitahuan” dan “pengepungan
Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Yogyakarta”. Padahal isu yang diangkat
adalah Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Sebagai
Solusi Demokratis mengunakan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Istilah Separatis dan Makar yang dipersamakan dengan “Hak Menentukan Nasib Sendiri” secara
esensial menunjukan potret riel pembodohan publik di negara hukum Indonesia sebab berdasarkan definisi serta landasan hukum sangat perbedaannya, dimana “Separatis” dan “Makar” merupakan tindakan yang dilarang menuganakan KUHP,
sedangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri merupakan suatu media demokrasi yang dijamin dalam hukum Internasional dan Indonesia. Dari beberapa kasus Potret buram pembohongan publik diatas, mayoritas dilakukan oleh Aparat Kemanan
sehingga secara yuridis menunjukan
fakta ketidakprofesionalan Aparat Kemanan sebab berdasarkan hukum aparat kemanan memiliki tanggungjawab untuk melindungi, menghormati, menjami dan
menghargai Hak Asasi Manusia di seluruh wilayah indonesia.
Berdasarkan fatak, realitas itu tentunya
menjadi sebuah pendidikan hukum dan
HAM yang keliru dari institusi negara yang dibentuk untuk menegakan hukum sehingga
situasi itu harus dan wajib dikembalikan kedalam koridor hukum dan HAM yang
jelas secara internasional dan indonesia demi melindungi hak asasi manusia
warga negara dari ancaman tindakan tidak profesional dan represifitas dari
penegak hukum. Agar tidak terjebak dalam politisasi penegak hukum yang gemar melanggar
hukum maka perlu diinginkan kembali bahwa setiap kelompok yang ingin
menyampaikan pendapatkannya di muka memiliki kewajiban untuk memberitahukan
tuntutan pokok, jumlah masa, rute demostrasi dan waktu kepada pihak
kemanan setempat melalui “surat pemberitahuan” yang dilayangkan 3 (tiga)
hari sebelum dilakukannya kegiatan aksi demostrasi. Melalui mekanisme tersebut
disimpulkan bahwa “Tuntutan Pokok Dari Aksi Yang Dilakukan Adalah Sebagaiman Dalam Surat
Pemberitahuan”, diluar dari itu bukan sebagai tuntutan pokoknya. Dengan demikian, keterangan-keterangan melalui orasi, yel-yel, atraksi, gambar
pada poster atau spanduk dan lain sebagainya “bukan sebagai tuntutan pokok” sehingga jika pihak kepolisian berdasarkan gambar, poster, orasi dan yel-yel membatasi kebebasan berekspresi maka secara
terang-terang pihak kepolisian melakukan pembungkaman ruang demokrasi dan
merupakan tindakan tidak terpuji yang dikategori sebagai pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan kesimpulan pelanggaran Hukum dan
HAM diatas, mahasiswa pejuang hak menentukan nasib sendiri yang hak kebebasan
berkekspresi dilanggar dapat menempuh upaya hukum sesuai dengan mekanisme yang
dijamin baik di tingkat internasional dan indonesia. Upaya hukum ini sanggat
bermanfaat bagi perjuangan demokratis selanjutnya, karena tanpa upaya hukum
para pelaku pelanggar Hukum dan HAM akan merasa dikontrol dan takut mengulangi
tindakan serupa sebab akan mencederai status negara indonesia sebagai negara
hukum yang memiliki kewajiban untuk melindungi HAM warga negara tanpa
diskriminasi dan dalam keadaan apapun.
Bagian Kedua
LANDASAN HUKUM
KEBEBASAN BERPIKIR DAN BEREKSPRESI
BAGI MAHASISWA PAPUA PEJUANG HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI
A. Dasar Hukum
Kebebasan Berkespresi Sebagai Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan norma
internasional yang lahir sejak dibentuknya Magna Carta dan diakui secara
internasional pasca perang dunia ke dua atau lebih kongkritnya lahir bersamaan
dengan lahirnya Perserikan Bansa Bangsa. Di dalam norma HAM terdapat beberapa asas
pokok melakat didalamnya seperti asas universal, asas non diskriminasi, dan
asas tidak terengutkan.
Hak Asasi Manusia sebagai norma
internasional, secara eksistensinya di Negara Indonesia bukan lagi sebagai
norma internasiona akan tetapi telah menjadi “ketentuan hukum”
sebagaimana terlihat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Menyangkut asas-asasnya diatas, salah satunya telah dijamin dalam
Undang Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Larangan Diskriminasi Ras dan Etnik.
Berdasarkan eksistensi yuridis itu, pada
tataran prakteknya ditegaskan kepada publik warga Negara Indonesia bahwasannya
eksistensi Hak Asasi Manusia di Negara Indonesia bukan lagi sebagai norma impor
yang bisa diabaikan akan tetapi telah
menjadi hukum nasional di Negara ini sehingga eksistensinya harus dipatuhi dan
dijalankan sebagai konsekwensi yuridis dalam hubungan bermasyarakat di Negara
hukum Indonesia.
Secara umum menyangkut perlindungan, penghormatan, penegakan dan
penghargaan Hak Asasi Manusia di Negara Indonesia telah menjadi kewajiban
konstitusi seluruh warga Negara Indonesia tanpa membedakan status sosial dan
jabatan. Terkait komitmen tersebut secara jelas terlihat pada UUD 1945,
Pasal 28I, berikut :
“(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundanganundangan”.
Semua ketentuan dalam kostitusi diatas, telah dituangkan ke dalam
beberapa peraturan perundangan-undangan, berikut : “Undang Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 4 Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukumyang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun. Pasal 3 ayat (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan,dan pemenuhan hak asasi manusia terutama
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Selain itu, dijamin juga dalam Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil
dan Politik”.
Melalui pasal-pasal dalam UUD serta beberapa aturan turunan
diatas, ada beberapa hal pokok yang penting untuk disimpulkan dan disampaikan
kepada publik yaitu terkait hak yang wajib dilindungi dalam keadaan
apapun, larangan perlakuan diskriminatif, penanggungjawab Hak Asasi Manusia
serta arahan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam peraturan perunda-undangan.
Untuk menyatakan kemerdekaan pikiran dan hati nurani dimaksud
konstitusi juga telah memberikan penegasan pada Pasal 28E ayat (2) Setiap orang
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya; ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Amanat konstitusi diatas juga telah
diturunkan kedalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
pada Pasal 23 ayat (1) Setiap orang
bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya dan (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai
hati nuraninya, secara
lisan dan atau
tulisan melalui media cetak
meupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa. Serta Pasal 24 ayat (1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
Dalam rangka mewujudkan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum, kostitusi memberikan arahan sebagaimana pada Pasal 28 Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Arahan tersebut diwujudkan dengan
dibentuk dan disahkannya Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Dengan demikian, jika pada prakteknya ada pihak yang
mengimplementasikan hak kemerdekaan menyampaikan pendapat pendapat dimuka umum
dengan mengikuti ketentuan dimaksud maka setiap warga negara indonesia wajib
dihargai, dilindungi, dihormati dan dijamin implementasinya sebagai wujud
komitmen impelementasi hak kostitusi diatas.
Terkait penanggungjawab Hak Asasi Manusia diatas, secara riel
Negara melalui pemerintah telah memberikan tanggungjawab kepada institusi
kepolisian di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana tugas pokok kepolisian
dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia,
khususnya pada Pasal 13, Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah : a). memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b). menegakkan
hukum; dan c). memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam mewujudkannya Hak Asasi Manusia yang merupakan hak
kostitusian diatas, institusi kepolisian telah membuat dan menetapkan Perkap
Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi standar dan pokok-pokok Hak Asasi
Manusia dalam tugas-tugas kepolisian republic Indonesia. Melalui landasan yuridis
diatas menegaskan bahwa kewajiban implementasi Hak Asasi Manusia dalam tugas
pokok tubuh Kepolisian Republik Indonesia menjadi kewajiban institusi dan
personal sertiap di seluruh wilayah Indonesia.
B.
Dasar Hukum Kebebasan Berpikir dan Memilih Tuntutan
Hak Menentukan Nasib Sendiri Oleh Mahasiswa Papua
Secara tegas UUD 1945 mengatakan bahwa Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[1] Berdasarkan
itu setiap orang tua papua telah membesarkan setiap anaknya. Mengingat
pengetahuan adalah salah satu hal pokok maka setiap orang tua menyekolahkan
anak-anaknya tanpa diskriminasi berdasarkan gender, sehingga telah banyak anak
papua yang menemepuh perguruan tinggi.
Dengan mengunakan pengetahuan yang dimiliki setaip anak papua
sadar akan realitas persoalan ekonomi, sosial., budaya, sipil dan politik yang
terjadi di seluruh papua. Mengunakan pengetahuan yang sama anak papua menilai
segala kebijakan diberlakukan di seluruh wilayah indonesia dan secara khususnya
di Papua. Pengetahuan atas kebijakan itu bukan hanya pada pemberlakuannya,
namun diketahui mulai dari partai politik, hutang politik yang terbangun dalam
pemilihan umum, pelunasan melalui lahirnya kebijakan, pemberlakuan kebijakan
dan dampak baik buruk yang diakibatkan berdasarkan kebijakan tersebut. Melalui
kenyataan itu, anak papua yang berpengetahuan itu menyadari akan semua
persoalan di papua, menganalisisnya dan kemudian memilih Hak Menentukan Nasib
Sendiri Bagi Bangsa Papua sebagai solusi bagi seluruh yang demokratis bagi
orang tuanya di wilayah adat papua. Pilihan tersebut kemudian disalurkan
melalui mekanisme demokrasi yang dijamin dalam negara indonesia.
Setelah dilihat dalam UUD 1945, sesungguhnya sikap tersebut merupakan
perintah Pasal 28C ayat (1) Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
dan ayat (2) Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya. Dasar konstitusional diatas telah diturunkan
ke dalam UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 13 Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan
martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia dan
Pasal 15 Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya,
baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.
Prinsip pasal 28d ayat (1) UUD 1945 dan ayat (2) junto
Pasal 13 dan Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM merupakan wujudnyata
dari tugas Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian pada Masyarakat dimana Mahasiswa menempati lapisan kedua dalam relasi kemasyarakatan, yaitu
berperan sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Mahasiswa adalah
yang paling dekat dengan rakyat dan memahami secara jelas kondisi masyarakat
tersebut. Kewajiban sebagai mahasiswa menjadi front line dalam masyarakat dalam
mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah terhadap rakyat karena sebagaian
besar keputusan pemerintah di masa ini sudah terkontaminasi oleh berbagai
kepentingan politik tertentu dan kita sebagai mahasiswa yang memiliki mata yang
masih bening tanpa ternodai kepentingan-kepentingan serupa mampu melihat secara
jernih, melihat yang terdalam dari yang terdalam terhadap intrik politik yang
tidak jarang mengeksploitasi kepentingan rakyat. Disini mahasiswa berperan
untuk membela kepentingan masyarakat, tentu tidak dengan jalan kekerasan dan
aksi chaotic, namun menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pendidikan, kaji
terlebih dahulu, pahami, dan sosialisasikan pada rakyat, mahasiswa memiliki
ilmu tentang permasalahan yang ada, mahasiswa juga yang dapat membuka mata
rakyat sebagai salah satu bentuk pengabdia terhadap rakyat.[2]
Dengan ditetapkannya UUD 1945, UU HAM dan Tri Darma Perguruan Tinggi diatas maka secara langsung memberikan landasan yuridis bagi Mahasiswa Papua menentukan pilihan Hak Menentukan Nasib sendiri yang dipilih sebagai solusi
untuk membangun masyarakat memiliki legitimasi yang wajib dihargai, dihormati,
dilindungi, dan dijamin eksistensinya.
Bagian Ketiga
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
TUNTUTAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI
BANGSA PAPUA
A.
Dasar Hukum Hak Menentukan Nasib Sendiri Di Indonesia
Salah satu hak asasi manusia yang wajib
dilindungi dalam keadaan apapun adalah adalah “hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani”. Terkait tutuntan Hak
Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua yang dipilih oleh mahasiswa papua
merupakan manifestasi dari hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani sehingga sewajibnya tuntutan ini dilindungi dalam keadaan apapun sesuai Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945.
Secara hukum, Hak Menentukan Nasib Sendiri eksistensinya dijamin dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang hak-Hak Sipil Dan Politik,
Pasal 1 ayat (1) Semua rakyat mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak tersebut memberikan mereka
kebebasan untuk menentukan status politik dan untuk meraih kemajuan ekonomi,
sosial dan budaya.
Melalui realitas yuridis itu, menunjukan bahwa “Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua”
yang dipilih oleh mahasiswa papua berdasarkan hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani mereka yang diturunkan dalam bentuk “Tuntutan Pokok Dalam Aksi Demostrasi Damai Dijamin Dalam Bingkai Hukum Negara Indonesia”.
Sesuai dengan amanat konstitusi,
jaminan tanggungjawab perlindunga,
penghormatan, penghargaan dan jaminan HAM oleh Negara terutama pemerintah
melalui institusi kepolisian di seluruh wilayah Indonesia sebagai bentuk implementasi standard dan prinsip-prisip HAM dalam
tugas-tugas kepolisian sebagaimana perkap Nomor 8 tahun 2009 sehingga Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri yang lahir dari kemerdekaan
pikiran dan hati nurani mahasiswa papua wajib dijamin eksistensinya dalam
keadaan apapun.
Berdasarkan kenyataan yuridis diatas, secara tegas dapat
disimpulkan bahwa tuntutan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua
merupakan suatu tuntutan yang legal dan tidak dapat disamakan secara serta merta dengan
istilah Separatis ataupun Makar
yang sering diutarakan oleh pihak Kepolisian Republik
Indonesia. Jika pada prakteknya ditemukan gagasan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa pihak yang mengeluarkan gagasan berkeinginan untuk
mempolitisir situasi dan menginginkan untuk melanggar hukum dalam rangka
menciptakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
B.
Melepaskan Label Separatis
dan Makar Dari Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Bagi Bangsa Papua
Selama ini, tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua yang diserukan oleh mahasiswa papua selalu
dipolitisir oleh pihak-pihak yang anti demokrasi sebagai tindakan Separatis dan
Makar hanya untuk membungkam
ruang demokrasi mahasiswa papua. Padahal Tuntutan
Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua dilakukan mengunakan
mekanisme demokrasi yang legal di Indonesia. Realitas itu, secara langsung
membangun sebuah pemahaman yang keliru sehingga wajib hukumnya untuk melepaskan istilah Separatis dan
makar pada posisinya agar
tidak mudah di politisir atau di kriminalkan untuk melegalkan tindakan anti demokrasi.
Dalam rangka membangun pemahaman yang objektif dalam melihat kata dan/atau
istilah Separatis dan Makar maka yang wajib dipahami
terlebih dahulu adalah definsi kata dan/atau istilah Separatis dan Makar itu
sendiri.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia Separatis adalah orang
(golongan) yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan; golongan
(bangsa) untuk mendapat dukungan. Sedangkan Separatisme adalah paham
atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan Negara sendiri).[3] Terkait Makar, kamus bahasa Indonesia
memberikan 3 (tiga) definisi, yaitu :
1) Akal busuk : tipu muslihat : segalanya itu sudah diketahui
lawannya;
2) Perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang,
dsb krn – menghilangkan nyawa seseorang, ia dihukum;
Secara hukum, terkait Separatis dan Makar diatur pada Pasal 104
KUHP junto Pasal 106 KUHP junto 107 KUHP. Dari ketiga pasal itu dapat
disimpulkan secara singkat,
sebagai berikut : bahwa
1) Berkaitan dengan
tindakan makar dengan niat untuk hendak membunuh presiden dan wakil presiden
sebagaimana diatur pada pasal 104 KUHP,
2) Berkaitan
dengan tindakan makar dengan niat menaklukan daerah Negara sama sekali atau
sebagiannya atau memisahkan sebagaian daerah sebagaimana diatur pada
pasal 106 KUHP dan
3) berkaitan
dengan tindakan makar dengan niat untuk
mengulingkan pemerintahan
sebagaimana diatur pada pasal 107 KUHP.
Berdasarkan kenyataan, mayoritas “Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Bagi Bangsa Papua” yang dilakukan mahasiswa papua selalu mengikuti mekanisme
demokrasi yang dijamin dalam ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, namun pada prakteknya selalu dipolitisir
dengan Pasal 106 KUHP sehingga selalu
berdapampak pada pembungkaman ruang
demokrasi bagi mahasiswa papua pejuang hak menentukan nasib sendiri.
Secara hukum tuduhan politis mengunakan pasal makar yang selama
ini gemar dilakukan oleh pihak anti demokrasi itu merupakan sebuah pandangan
ilegal sebab menurut R Soesilo, berkaitan dengan Pasal 106 dapat dilihat
mengunakan dua pandangan, yaitu
1) Terkait
makar (aanslag) mengacu pada Pasal 87 KUHP yaitu suatu perbuatan dianggap
ada, apabila niat si pembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya
melakukan perbuatan itu menurut maksud Pasal 53 KUHP.[5]
2) Objek dalam
penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah Negara. Menurutnya kedaulatan ini
dapat dirusak dengan dua macam cara ialah dengan jalan :
1. Menaklukan daerah Negara seluruhnya atau sebagian kebawah
pemerintah Negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau
sebagian kepada kekuasaan Negara asing,
2. Memisahkan
sebagian dari daerah Negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi
suatu Negara yang berdaulat sendiri.[6] Berkaitan dengan separatis
atau makar pada prakteknya mengacu pada Pasal 53 KUHP, R Soesilo mengatakan
bahwa perbuatan-perbuatan persiapan tidak masuk dalam pengertian makar. Yang
masuk dalam pengertian ini hanyalah perbuatan-perbuatan pelaksana.[7]
Sesuai dengan Pandangan R Soesilo diatas dapat disimpulkan istilah
Separatis dan Makar telah disalahartikan oleh pihak-pihak yang anti demokrasi
hanya untuk “membungkam Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua
yang diserukan mahasiswa papua mengunakan mekanisme UU Nomor 9 Tahun 1998”.
C.
Perbedaan Objektif Antara Separatis/Makar Dan
Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Berdasarkan pada penjelasan diatas sudah
dapat memberikan sebuah penegasan kepada publik bahwasan Hak Menentukan Nasib
Sendiri berbeda dengan Separatisme dan Makar.
Perbedaan
pertama, terlihat dimana
ada dua aturan yang mengaturnya yaitu : 1). terkait Hak Menentukan Nasib
sendiri diatur Pada Pasal 1, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya dan UU Nomor 11 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Sipil dan Politi. 2). Sedangkan
Separatis atau Makar diatur pada Pasal 104 KUHP junto 106 junto 107 KUHP.
Perbedaan
kedua, terlihat dari
rumusan pasalnya, dimana : 1). Semua bangsa berhak
untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk
menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi,
sosial dan budaya mereka. Selain itu, untuk
tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam
mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi
internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum
internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu
bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri; 2). Sedangkan Makar setiap pasal memberikan beberapa
rumusan dimana tindakan
makar dengan niat untuk hendak membunuh presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur pada pasal 104 KUHP, tindakan makar dengan niat menaklukan daerah Negara sama sekali
atau sebagiannya atau memisahkan sebagaian daerah sebagaimana diatur pada pasal 106 KUHP dan tindakan makar dengan niat untuk mengulingkan pemerintahan sebagaimana diatur pada pasal 107 KUHP.
Berdasarkan kedua perbedaan diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa antara hak menentukan nasib sendiri dan makar diatur oleh dua
aturan yang berbeda baik secara pokok tujuan pembentukannya dan juga hubungan
publiknya dimana :
1) Dasar hukum bagi hak
menentukan nasib sendiri secara pokok sebagai turunan HAM dan dalam hubungan
publiknya bertujuan untuk melindungi HAM sedangkan Makar secara pokok
tujuan pembentukannya untuk melindungi presiden, wilayah negara
dan pemerintahan dan dalam hubungan publiknya bertujuan untuk menghukum pelaku
tindakan tersebut sesuai dengan rumusan pasal didalamnya.
2)
Sementara itu terkait
muatan pasal dan tujuannya sangat jelas dimana Hak Menentukan Nasib Sendiri bertujuan
untuk bebas menentukan status
politik dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan tujuan untuk dapat
mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi
kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional,
berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum internasional.
Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas
sumber-sumber penghidupannya sendiri.
Sedangkan Makar bertujuan untuk melindungi membunuh
presiden dan wakil presiden
ancaman atau tindakan pembunuhan, melindungi wilayah daerah atau
Negara dari upaya penaklukan dan pemisahaan dan
melindungi pemerintah dari upaya pengulingan pemerintah.
Atas dasar perbedaan-perbedaan diatas, terlihat jelas
esensi perbedaannya bsaik secara tujuan, unsur muatan pasal dan dasar hukum.
Sampai hari ini semua pihak, khususnya pihak kepolisian yang selalu menerima
Surat Pemberitahuan jika mahasiswa akan melaksanakan kebebasan berekspresi
dijelaskan bahwa tuntutan pokok adalah
“Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokrasi Bagi Bangsa Papua.”
Berdasarkan fakta dalam semua aksi demostrasi untuk memeprjuangkan “Tuntutan
Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokrasi Bagi Bangsa Papua selalu
dilakukan mengunakan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun
1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Dari rumusan pasal
dan unsur terkait Hak Menentukan Nasib Sendiri terlihat jelas bahwa:
1) HAK MENENTUKAN NASIB
SENDIRI tidak bertujuan untuk
membunuh Presiden atau Wakil Presiden;
2) HAK MENENTUKAN NASIB
SENDIRI tidak bertujuan untuk
memberikan Wilayah Indonesia Ke Negara Lain; dan
3) HAK MENENTUKAN NASIB
SENDIRI tidak bertujuan untuk
mengulingkan Pemerintah..
Berdasarkan hal-hal diatas disimpulkan bahwa Hak
Menentukan Nasib Sendiri secara prinsipil berbeda dengan Separatis dan Makar.
Selain itu, berdasarkan penegasan diata disimpulkan bahwa dalam rumusan Hak
Menentukan Nasib Sendiri tidak ada unsur yang mengarah pada hal-hal yang
dimaksud dalam rumusan Pasal Makar. Berdasarkan itu dapat disimpulkan bahwa
secara teori pidana Hak Menentukan Nasib Sendiri tidak dapat dikualifikasikan
sebagai tindakan separatis dan makar berdasarkan penjelasan R Soesilo dengan mengacu pada
Pasal 53 KUHP, sebagaiberikut : perbuatan-perbuatan persiapan tidak masuk dalam pengertian makar.
Yang masuk dalam pengertian ini hanyalah perbuatan-perbuatan pelaksana.[8]
Dengan demikian secara tegas disimpulkan bahwa
Perjuangan Mahasiswa Papua dalam Menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi
Bangsa Papua Sebagai Solusi Demokrasi tidak dapat disebut sebagai tindakan
Separatis dan Makar sebab berbeda secara hukum, unsur-unsur dan tujuannya.
Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa selama ini pejuang hak menentukan nasib
sendiri oleh mahasiswa papua yang dituduh sebagai perjuangan separatis dan makar merupakan
tuduhan tanpa hukum dan secara secara
terang-terang menunjukan penyalahgunaan hukum oleh aparat kemanan.
Bagian Keempat
TANGGUNGJAWAB PERLINDUNGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI
OLEH PEMERINTAH MELALUI POLISI
A.
Dasar Hukum Mekanisme Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
Pada prinsipnya, Setiap warga negara, baik perorangan atau
kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[9] Artinya dalam rangka
mewujudkan tuntutan hak menentukan nasib sendiri ke khalayak publik diwajibkan
agar dapat mengikuti mekanisme demokrasi yang dijamin dalam Undang Undang Nomor
9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sesuai.[10]
Ada bentuk-bentuk penyampaian pendapat yang dijamin dalam
ketentuan ini. bentuk penyampaian pendapat dimuka umum yang sediakan dengan cara,
a. unjuk rasa atau dernonstrasj; b. pawai; c. rapat umurn; dan atau d. mimbar
bebas.[11] Dalam peraturan ini
memberikan hak dan kewajiban bagi warga Negara yang meyampaikan pendapat dimuka
umum serta kewajiban dan tanggung warga Negara dan aparatur pemerintah terhadap
warga Negara yang sedang menyampaikan pendapat.
Terkait hak bagi warga Negara yang menyampaikan pendapat adalah mengeluarkan
pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum.[12] Sementara kewajiban dari
warga Negara yang melanyampaikan pendapat di muka umum adalah : a. menghormati
hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghonnati aturan-aturan moral yang
diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan e.
menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[13]
Terkait kewajiban dan tanggung jawab warga Negara dan apartur
pemerintah terhadap warganegara yang sedang menyampaikan pendapat adalah
a.
Melindungi hak asasi
manusia;
b.
Menghargai asas
legalitas;
c.
Menghargai prinsip praduga
tidak bersalah; dan
d.
Rnenyelenggarakan
pengamanan.[14]
Adapun ketentuan atministrasi yang diberikan ketentuan ini,
sehingga warga Negara diharapkan dapat menjalankan sebagaimana mestinya. Dalam
rangka menyalurkan pendapat mengunakan beberapa bentuk diatas ditempat umum,
pemimpin atau penanggungjawab penyampaian pendapat di muka umum
selambat-lambatnya 3 x 23 jam sebelum kegiatan dilakukan (tiga hari sebelum
kegiatan),[15]
wajib memberitahukan secara secara tertulis kepada Polri setempat.[16] Setelah menerima Surat
Pemberitahuan, pihak kepolisian wajib melakukan beberapa tindakan, seperti :
a.
Segera Memberikan Surat Tanda Terirna Pemberitahuan;
b.
Berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di rnuka umum;
c. Berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
Selain itu, Polri bertanggungjawab
memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta
penyampaian pendapat di muka umum[18] dan menyelenggarakan
pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur
yang berlaku.[19]
Terkait Surat pemberitahuan memuat beberap hal pokok yang wajib
disebutkan didalamnya, seperti :
a.
Maksud dan tujuan;
b.
Tempat, lokasi, dan rute;
c.
waktu dan lama;
d.
Bentuk;
e.
Penanggung jawab;
f.
Nama dan alamat organisasi,
kelompok atau perorangan;
g.
Alat peraga yang
dipergunakan; dan atau
h.
Jumlah peserta.[20]
Berdasarkan uraian diatas, jika pada prakteknya mahasiswa papua
yang menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua telah mengikuti
mekanisme demokrasi diatas maka dalam menyampaikan pendapat dimuka umum wajib
di lindungi, dihormati, dijamin dan dihargai oleh Negara melalui pemerintah
dalam keadaan apapun sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 pada Pasal 28I ayat
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.
B.
Telah Kritis Surat Pemberitahuan dan Surat Tanda Terima
Pemberitahuan
Berdasarkan pengalaman sudah banyak aksi demostrasi Mahasiswa
Papua dengan tema Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua yang dilarang
oleh pihak kemanan, padahal mahasiswa papua dalam menyampaikan pendapat dimuka
umum telah mengikuti ketentuan sebagaimana dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum,
yaitu :
Dalam rangka menyalurkan pendapat mengunakan beberapa bentuk
diatas ditempat umum, pemimpin atau penanggungjawab penyampaian pendapat di
muka umum selambat-lambatnya 3 x 23 jam sebelum kegiatan dilakukan (tiga hari
sebelum kegiatan),[21] wajib memberitahukan
secara secara tertulis kepada Polri setempat.[22] Setelah menerima Surat
Pemberitahuan, pihak kepolisian wajib Segera
Memberikan Surat Tanda Terirna
Pemberitahuan, Berkoordinasi
dengan penanggung jawab penyampaian
pendapat di rnuka umum, Berkoordinasi
dengan pimpinan instansi/lembaga
yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat dan Mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi.
dan rute.[23]
Setelah ditelusuri, Perihal “Surat Pemberitahuan” dan “Surat Tanda
Terima Pemberitahuan” yang selama ini dijadikan menjadi dasar legal oleh pihak
keamanan untuk mengendalikan atministrasi publik membebaskan da/atau melarang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Berdasarkan realitas, selama
ini aksi demostrasi mahasiswa papua dengan tema hak menentukan nasib sendiri
bagi bangsa papua dilarang karena pihak keamanan tidak mengeluarkan “Surat
Tanda Terima Pemberitahuan”.
Secara praktis Oce
Madril Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengatakan Aparat
kepolisian tak berwenang menolak pemberitahuan aksi para mahasiswa Papua saat
akan menyampaikan pendapat "Kebebasan Menentukan Nasib Sendiri bagi Papua
Barat". Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa :
"Izin
dan pemberitahuan beda. Izin berarti ada kewenangan approval atau
menerima, bisa iya, bisa ditolak. Makna pemberitahuan bukan izin. Kebebasan berpendapat sudah menjadi hak masyarakat yang diatur
konstitusi.
Menurutnya,
polisi tidak berhak mengomentari, menolak, atau menyetujui surat
pemberitahuan. Lebih jauh beliau menegaskan bahwa :
"Tugas
polisi wajib menyediakan keamanan bagi peserta aksi ketika prosedur
pemberitahuan sudah disampaikan. Kalau tidak disampaikan pemberitahuan, polisi
bisa saja beralasan tidak tahu.
Ia
menekankan, ketika pemberitahuan telah dilayangkan, polisi seharusnya
memberikan keamanan. Jika polisi tidak mengamankan jalannya demonstrasi, maka
polisi yang salah. "Jika ada tindakan
perusakan, bukan pada demonstrasinya yang ditangani, tapi pelanggaran hukumnya.”.[24]
Melalui uraian diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa perihat “Surat Tanda Terima Pemberitahuan dari pihak
kemanan bukan sebagai Dasar Penentu terimplementasinya kebebasan menyampaikan
pendapat di muka umum”. Dalam konteks ini yang menjadi “dasar
penentu terimplementasinya kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah
Surat Pemeberitahuan”. Dengan demikain, pada prakteknya jika telah memberikan surat pemberitahuan
maka silahkan diimplementasikan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum
sesuai dengan apa yang telah dituangkan dalam “Surat Pemberitahuan”
sebab kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak kostitusi warga
negara yang dijamin dalam UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
C.
Kewajiban Polisi Dalam Mengawal Kemerdekaan Menyampiakan Pendapat
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, khususnya pada Pasal 13, Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah : a). memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b).
menegakkan hukum; dan c). memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Terkait dengan pengawalan kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum diwajibkan agar polisi mengedepan pendekatan penegakan hokum dan
perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan cara
mengimplementasikan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pada prakteknya jika mahasiswa papua yang akan menyampaikan
tuntutan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua telah mengantarkan
surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian setelah, maka pihak kepolisian
wajib melakukan beberapa hal, seperti : Segera
Memberikan Surat Tanda Terirna
Pemberitahuan, Berkoordinasi
dengan penanggung jawab penyampaian
pendapat di rnuka umum, Berkoordinasi
dengan pimpinan instansi/lembaga
yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat dan Mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi.
dan rute.[25]
Selanjutnya pada prakteknya penyampaian tuntutan hak menentukan nasib sendiri
bagi bangsa papua pihak kepolisian bertanggungjawab
memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta
penyampaian pendapat di muka umum[26] dan menyelenggarakan
pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur
yang berlaku.[27]
Berkaitan dengan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang
belaku menjadi sebuah pandangan selalu disalah gunakan oleh pihak kepolisian
dengan alasan memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat ketika mengawal
penyampaian tuntutan hak mementukan nasib sendiri bagi papua yang dituntut oleh
mahasiswa papua selama ini. Jika kenyataan itu dikritisi melalui fakta adanya
surat pemberitahuan yang dilayangkan dimana didalamnya telah menyebutkan bahwa
aksinya akan dilakukan secara damai menyusuri rute yang telah ditetapkan
didalamnya maka melaluinya menunjukan bahwa keraguan ketertiban umum tidak
logis dinaikan sebab pada prinsipnya melalui adanya penyerahan surat
pemberitahuan itu menunjukan bahwa mahasiswa papua yang akan menuntut hak
menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua sangat menyadari atas kewajiban dari
warga Negara yang melanyampaikan pendapat di muka umum.[28]
Dengan demikian dalam tugasnya untuk melindungi dan menjamin
keamanan dalam kegiatan menyampaikan tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi
Bangsa Papua, ada prinsip-prinsi pokok yang wajib di patuhi pihak kepolisian
seperti kewajiban dan tanggung jawab warga Negara dan apartur pemerintah
terhadap warga negara yang sedang menyampaikan pendapat adalah a). melindungi
hak asasi manusia; b). rnenghargai asas
legalitas; c). menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d). rnenyelenggarakan pengamanan.[29]
Terkait perlindungan Hak Asasi Manusia dimaksudkan kearah
perlindungan kepada mahasiswa papua yang menuntut Hak Menentukan Nasib Bagi
Bangsa Papua yang disampaikan mengunakan mekanisme demokrasi sebagaimana dalam
UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum
merupakan cerminan Hak Asasi Manusia yang wajib dilindungi. Selanjutnya
menyangkut menghargai asas legalitas mengarakan agar pihak kepolisian dalam
melakukan pendekatan terhadap mahasiswa papua yang menentut hak menentukan
nasib sendiri bagi bangsa papua mengunakan pendekatan penegakan hukum artinya
polisi wajib menegakan aturan hokum yang mengatur tentang HAM yang berkaitan
dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum serta hak kemerdekaan
pikiran sesuai hati nurani yang dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat DI Muka Umum, UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budata, UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik dan Peraturan Kapolri Nomor
8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Prinsip Pokok HAM Dalam Tugas
Tugas Kepolisian.
Dalam konteks itu, terkadang pihak kepolisian akan berpikir bahwa
asas legalitas memberikan ruang bagi mereka untuk mendalilkan beberapa aturan
untuk membatalkan suatu kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, seperti
: Pasal 106 KUHP terkait tindak pidana makar yang diajukan untuk membatasi isu
hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua. Dalil ini sangat keliru, sebab
terkait Hak Menentukan Nasib Sendiri secara tegas dijamin pada pasal 1 UU Nomor
11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budata, UU Nomor 11 Tahun
2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan
Politik serta disalurkan mengunakan
mekanisme demokrasi sebagaimana dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat DI Muka Umum. Dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwa tuntutan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua yang diusung oleh
mahasiswa papua sebagai tuntutan pokok sangat jelas jaminan hukumnya sehingga
dalil makar yang dijadikan gagasan dalam membantah isu hak menentukan nasib
sendiri wajib dikesampingkan berdasarkan prinsip “Asas Praduga Tak Bersalah” sebagaimana dalam ketentuan tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Berdasarkan dasar hukum dan asas-asas pokok didalamnya maka dapat
disimpulkan bahwa tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia adalah
rnenyelenggarakan pengamanan agar tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi
Bangsa Papua yang disalurkan oleh mahasiswa papua mengunakan mekanisme
demokrasi dapat tersampaikan dengan aman dan damai sesuai dengan yang direncanakan
sebagaimana dalam surat pemberitahuan yang telah diberikan kepada pihak
kepolisian.
D. Memetakan Pelanggaran Polisi Dalam Pengamanan
Kebebasan Berekspresi dan Upaya Mencari Keadilan
Berdasarkan urian diatas, dapat disimpulkan bahwa penangganan kemerdekaan
pendapat di muka umum dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur
secara jelas sebagaimana diatas. Pada praktek jika ditemukan
tindakan yang diluar dari
ketentuan diatas, maka secara tegas
disimpulkan bahwa pihak kemanan mengunakan “Jurus
Aji Mumpung” untuk membungkam ruang demokrasi. Jurus aji mumpung itu merupakan tindakan sewenang-wenang dan
masuk dalam kategori Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan juga sebagai Pelanggaran
Hukum serta merupakan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian.
Kesimpulan pelanggaran diatas, didasarkan
pada ketentuan hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 yang telah diturunkan
ke dalam UU Nomor 9 Tahun 1998
tentang kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun
2003 tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Standar dan Pokok Pokok Hak Asasi Manusia Dalam Tugas Tugas
Kepolisian Republik Indonesia.
Dengan demikian maka sebagai warga negara
yang memiliki hak yang sama didepan hukum, mahasiswa papua yang memperjuangankan
Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua sebagai Solusi Demnokratis
memiliki hak untuk menuntut keadilan atas pelanggaran yang dialami dengan cara
:
1) Melaporkan Temuan Pelanggaran HAM ke Komisi Sipol PBB
2) Melaporkan Temuan Pelanggaran HAM ke Komnas HAM Republik
Indonesia,
3) Mengadukan Pelanggaran HAM Ke Komisi Kepolisian Republik
Indonesia,
4) Melaporkan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian Ke Kapolri,
5) Mengadukan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian Ke Propam
Nasional.
Untuk menopang semua laporan itu maka segala
data yang telah dihimpun oleh perangkat aksi seperti, arsip surat
pemberitahuan, dokumentasi aksi (foto, video dan rekaman), notulensi aksi (data
tulisan yang dibuat perwaktu), dan hasil negosiasi di lapangan (secara
tertulis, rekaman dan liputan), menjadi
bahan objektifnya sebagai “Alat Bukti Surat”. Selanjutnya
perangkat lainnya seperti Kordum, Korlap, serta beberapa massa aksi wajib
disiapkan sebagai “Saksi”. perlu dicatat bahwa dalam hukum acara ada prinsip “Satu
Saksi Bukan Saksi” sehingga yang akan disiapkan jadi saksi wajib lebih
dari dua orang. Selain itu, beberapa perangkat aksi yang menjadi hal pokok
dalam aksi seperti spanduk tuntutan pokok, pernyataan sikap, selebaran, dan
beberapa baliho juga dapat dijadikan sebagai “barang bukti”.
Bagian Kelima
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berpijak pada prinsip HAM dan Demokrasi yang disampaiakan diatas,
serta berdasarkan kenyataan dimana “Tuntutan Hak Menentukan
Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua” yang merupakan hasil dari kemerdekaan pikiran dari hati
nurani mahasiswa papua yang disalurkan mengunakan mekanisme demokrasi yang legal di indonesia
sebagaima dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di muka umum maka secara tegas disampaikan kepada publik Indonesia bahwa
:
“Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Yang
Diusahakan Oleh Mahasiswa Papua Merupakan Perjuangan Demokrasi Kostitusional Dalam Negara Hukum Indonesia”.
Dengan prinsip tersebut, bagi mahasiswa
papua yang akan melakukan kebebasan
berekspresi tidak perlu meragukan apapun
sebab apa yang dilakukan dijamin dalam hukum Indonesia. Jika pada prakteknya
dihambat oleh siapapun maka Mahasiswa Papua memiliki Hak Kostitusi untuk
menuntut keadilan kepada pihak yang berwenang atas ketidakadilan yang dialami.
Sesuai dengan pengalaman tercatat beberapa aktor yang biasanya tampil sebagai
pelaku penghambat kemerdekaan
berekspresi mahasiswa papua, antara laian Polisi dan/atau sesama warga Negara dengan dalil
politis yang beragam, seperti :
tuduhan Makar, Separatis, persatuan dan kesatuan, NKRI harga mati
dan lain sebagainya untuk dijadikan landasan pembenar dalam pembungkaman ruang
demokrasi.
Meskipun demikian, telah dijelaskan
bahwa Tuntutan Hak Menentukan Nasib
Sendiri Bagi Bangsa Papua yang disampaikan melalui mekanisme demokrasi yang
ada dilindungi oleh undanga-undang, dijamin dengan asas legalitas dan asas
praduga tak bersalah sehingga pelaku penghalangan penyampaian pendapat ke muka
umum wajib diberikan sangksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berkaitan dengan penghalangan hak
kemerdekaan menyampaiakan pendapat di muka umum secara jelas merupakan tindak
pidana yang terkategori sebagai kejahatan. Berkaitan dengan larangan dan
sangksinya telah diatur dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Pasal 18 sebagai berikut :
Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum
yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
Sesuai dengan penegasan pasal 18 ayat 2
diatas, secara tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi hak warga negara untuk
menyampaikan pendapat di muka umum masuk dalam kategori kejahatan. Menurut kamus
hukum, kejahatan adalah suatu tindakan
yang termasuk dalam tindak pidana berat atau lebih berat dari sekedar
pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan dilakukan dengan
sadar dengan maksud tertentu untuk menguntungkan diri sendiri yang merugikan
orang lain atau masyarakat.[30] Mengacu pada Pasal 18
ayat 1 yang secara jelas telah memberikan sangksi terhadap pelakunya wajib untuk
diproses sesuai dengan mekanisme hukum yang ada sebagai wujud pemenuhama UUD
1945 Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Berpijak pada realita aktornya adalah
polisi dan/atau masyarakat sipil sehingga dalam proses penegakannya tentunya
akan berbeda antara aktor polisi dan aktor masyarakat sipil. Perbedaan itu
terletak pada tugas dan tanggungjawab serta hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Melalui perbedaan dan pemisahan diatas, dapat memberikan petunjuk bahwa
bagi masyarakat sipil tentunya akan diproses dan diganjar sesuai dengan pasal
18 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum
dan akan ada tambahan pasal dan aturan lainnya sesuai dengan tindakan hukum yang
dilakukan. Jika yang melakukannya adalah aparat kepolisian maka secara langsung
akan disebut sebagai tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia junto Pasal 18 UU
Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Dengan demikian ditegaskan kepada
mahasiswa papua bahwa Tuntutan Hak
Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Melalui Mekanisme Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Sebagai Hak Kostitusional Di Indonesia
sehingga Harapannya mahasiswa papua yang telah sadar akan hak kostitusi itu
tidak perlu mundur dari langkah yang sudah dan akan dilakukan hanya karena
tuduhan politis dari pihak-pihak anti demokrasi yang dilontarkan dengan
tuduhan tindakan separatis ataupun makar kepada “Mahasiswa Papua Pejuang Hak
Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bagsa Papua” sebab secara hukum “Hak Menentukan
Nasib Sendiri” berbeda dengan tindakan Makar dan Separatis yang dimaksudkan
oleh kaum anti demokrasi. Secara hukum, justru tuduhan pihak anti demokrasi
itulah yang melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia.
"Kritikanmu Adalah Pelitaku"
[1] Pasal 28B, ayat (2) UUD 1945
[2] Sumber : http://catatanaktivismuda.blogspot.co.id/2013/09/tri-dharma-perguruan-tinggitdpt.html., diakses tanggal 28/11/16,
(17:36)
[3] Kamus besar bahasa indonesia, Hal. 1042
[4] Ibid,.
Hal. 702
[5] Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, Hal 109.
[9] Pasal 2 ayat (1), UU Nomor 9/1998
[10] Pasal 2 ayat (2), UU Nomor 9/1998
[11] Pasal 9, UU Nomor 9/1998
[12] Pasal 5, UU Nomor 9/1998
[13] Pasal 6, UU Nomor 9/1998
[14] Pasal 7, UU Nomor 9/1998
[15] Pasal 10 ayat 3, UU Nomor 9/1998
[16] Pasal 10 ayat 2 dan 3, UU Nomor 9/1998
[17] Pasal 13 ayat 1, UU Nomor 9/1998
[18] Pasal 13 ayat 2, UU Nomor 9/1998
[19] Pasal 13 ayat 3, UU Nomor 9/1998
[20] Pasal 11, UU 9/1998
[21] Pasal 10 ayat 3, UU Nomor 9/1998
[22] Pasal 10 ayat 2 dan 3, UU Nomor 9/1998
[23] Pasal 13 ayat 1, UU Nomor 9/1998
[24] http://jatim.metrotvnews.com/peristiwa/8Ky9wYYK-ugm-sayangkan-polisi-larang-kebebasan-berpendapat-warga-papua., diakses tanggal 12/8/16, (16:26)
[25] Pasal 13 ayat 1, UU Nomor 9/1998
[26] Pasal 13 ayat 2, UU Nomor 9/1998
[27] Pasal 13 ayat 3, UU Nomor 9/1998
[28] Pasal 6, UU Nomor 9/1998
[29] Pasal 7, UU Nomor 9/1998
[30] Kamus Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar