PEMILU
2014
MELANGGAR
HAK ASASI MASYARAKAT ADAT PAPUA
(Pelecehan
dan Pelanggaran Hak Politik dan Hak Identitas Masyarakat Adat Papua)
A. Pandangan Umum
Negara Indonesia sebagai negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD
1945), sebagai konsekwensi dari status negara hukum maka negara wajib menjamin
Hak Asasi Manusia warga negaranya dalam Konstitusinya dan selain itu memiliki
lembaga peradilan yang independen dan mandiri. Jika dilihat dalam UUD 1945
semua persyaratan sebagai Negara Hukum telah termuat hanya saja belum
terrealisasi secara sempurna, berdasarkan kenyataan dapat disebutkan bahwa
kejadian itu disebabkan karena aturan hukumnya yang tumpang tindih dan
disisilain diakibatkan oleh aparatus negaranya yang tidak professional.
Selain Indonesia sebagai negara Indonesia juga mengkalim
dirinya sebagai Negara Demokrasi, salah satu bentuk perwujudan negara demokrasi
tersebut dapat diukur dengan adanya pelaksanaan Pemilihan Umum atau PEMILU 5
(liam) tahun sekali baik Pemilihan Eksekutif maupun Legislatif Pusat maupun
Daerah. Memang dalam prakteknya sempat terjadi perubahan teknis perwujudan
dalam pemilihan dimana awalnya hanya dilakukan oleh legislatif untuk memilih
eksekutif namun kini semuanya dilakukan Secara Langsung dimana Masyarakat yang
langsung memilih pemimpinya dalam pemerintahan baik eksekutif maupun legilatif
diseluruh tingkatan.
Dalam pelaksanaannya banyak sekali persoalan yang sering
timbul baik yang diakibatkan oleh KPU, Pemilih, atau bahkan oleh Calon
Legislatif maupun Calon Eksekutif, atau justru diakibatkan oleh pihak-pihak
tertentu yang mengejar kepentingan tertentu. Berdasarkan kenyataan pelaksanaan
Pemilihan Umum diseluruh Tanah Papua yang tercatat paling banyak pelanggaran
baik asas demokrasi, hukum dan Hak Asasi Manusia serta Hak Asasi Masyarakat
Adat Papua.
Telah banyak konflik horizontal yang terjadi pasca PEMILU
yang sering diistilahkan dengan “Konflik Pemilu” seperti Konflik Pilkada di
Puncak Papua, Tolikara, Papua Barat, dan lain sebagainya. Setelah ditelusuri
ternyata diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya : 1). Ketidakdewasaan
politikus praktisnya, 2). Kesalahan Sistim Penerapan Pemilunya, 3) Nihilnya
pendidikan politik yang bermartabat kepada Masyarakat Adat Papua.
Jika dikaji maka dapat disimpulkan, Hal Pertama diatas
diakibatkan karena semakin merebaknya virus keserhakaan dan juga virus korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang selalu menciptakan masing-masing kubu yang
membutakan mata untuk melihat prinsip-prinsip berpolitik yang profesiaonal., Hal
Kedua itu terlihat dimana pemerintah selalu menerapkan sistim pemilihan
yang tidak menghargai hak politik warga negara yang dijamin dalam konstitusi
sebagai contoh dengan mengunakan “Sistim Noken” dalam setiap PEMILU
di Papua yang telah menelan korban jiwa dan harta benda diatas Pelanggaran Asas
Pemilihan yang Indiviu, Jujur, dan Adil, serta Pelanggaran Hukum yang telah
menjamin Hak Pilih, dan juga berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Masyarakat
Adat karena banyak Caleng dan Cabub yang sering memanfaatkan unsur-unsur adat
dimasa kampanyenya seperti penciptaan struktur sosial baru berdasarkan
kepentingan yang ditunjuk dengan penunjukan Kepala Suku baru atau Lembaga
Masyarakat Adat Baru seperti yang marak terjadi., Hal Ketiga itu terbukti
dimana sejak awal Papua bergabung dengan Indonesia belum pernah diseleggarakan
Pemilihan Secara Langsung dari Masyarakat untuk Masyarakat namun yang sudah,
sering, dan akan dilaksankan adalah : di tahun 1969 dalam PEPERA dilaksanakan
mengunakan Sistim Musyawara Mufakat (perwakilan), selanjutnya dari tahun
1970-an sampai dengan tahun 2004 pemilihan dilakukan secara perwakilan oleh
Legislatif (Perwakilan), dan 2004 – 2019 dilakukan dengan Sistim Noken.
Untuk menunjukan adanya Pelecehan dan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia serta Hak Asasi Masyarakat adat di Papua dalam Pemilu 2014 serta
Modus, kepentingan-kepentingan dibelakanggnya, dan dampak konflik sosial yang
bakal berimbas kesemua lini kehidupan diseluruh tanah papua pasca pemilu 2014
akan dijelaskan pada bagian lainnya.
Maksud
dan Tujuan Laporan
- Maksud
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan
kepada Komnas HAM sebagai pemantau jalannya Pemilihan Umum bahwasannya telah,
sedang, dan akan terjadi Pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua Dalam
Pemilu 2014 Di Tanah Papua.
Berdasarkan
kenyataan itu maka diharapkan agar Komnas HAM Republik Indonesia sebagai
institusi legal negara yang didirikan Negara Indonesia untuk menegakkan Hak
Asasi Manusia setiap warga negara termasuk Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dari
sikap dan tindakan individu, instituisi, dan negara melalui penerapan sistim yang
kontra dengan realitas keberagaman di Indonesia yang jelas-jelas akan akan
berdampak pada konflik sosial yang berkepanjangan, maka diharapkan adanya
tindakan segerah untuk mengatisipasi dampak Konfik Sosial yang akan terjadi
selanjutnya.
Selain itu melaihat dan memaknai realitas bernegara dan
berbangsa dengan negara Indonesia ternyata dalam semua bidang tidak pernah ada
pengharagaan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua salah satunya adalah yang
termanifestasikan dalam Pesta Demokrasi Indonesia yang dilakukan secara
serempak diseluruh wilayah Indonesia, hal itu kemudian menimbulkan pertanyaan
sebenarnya Indonesia menghargai Hak Asasi Masyarakat Adat ataukah hanyalah
sebagatas penghargaan Formalitas saja.
Dengan demikian maka untuk melindungi Hak Asasi masyarakat
Adat Papua secara sempurna dan berkelanjutan maka diharapkan agar Komnas HAM
Republik Indonesia dapat mengagas dan mewujudkan proses Ratifikasi Deklarasi
Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat Internasional menjadi
Undang-Undang di negara Indonesia.
b. Tujuan Laporan
Tulisan ini bertujuan untuk Melaporkan Dugaan Pelanggaran Hak Politik, Hak Warisan, dan Hak
Identitas Masyarakat Adat Papua Khususnya Marga Wenda diwilayah adat Mbalim (La
Pago) yang dilakukan oleh Ir. John Rande Magontan (Caleg DPR RI Dapil Papua
Nomor Urut 6 dari Partai Nasional Demokrasi atau NasDem) dan Negara Indonesia
yang telah menerapkan sistim noken untuk diberlakukan diwilayah papya serta
KPUD di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat Se-tanah Papua yang akan Sistim Noken dalam Pemilihan Umum 2014
B. Landasan Filosofis, Profil Pelaku,
dan Kronologis Pelecehan Hak Identitas Adat
1. Landasan Filosofis
Dalam budayaan orang mbalim cara mereka mengadobsi anak
orang lain (orang asing) dan dimasukan dalam marga tertentu seperti “Marga
Wenda” adalah sebagai berikut :
Pengangkatan orang asing menjadi bagian dari marga
wenda atau marga lainnya diwilayah mbalim (la Pago) serta Papua secara umumnya
tidak didasarkan atas agama, kepentingan politik, dan kedekatan dengan sesorang
serta berdasarkan kedekatan satu atau dua orang yang dilandasi dengan
kepentingan ekonomi dan politik mereka.
Secara turun temurun dalam budaya orang mbalim telah
diatur “secara tidak tertulis” terkait syarat pemberian marga kepada
orang asing dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu : Pertama, anak yang diadobsi akibat perang yang
menimbulkan keluarga meninggalkan bayi dikampung kelahirannya atau orang
tuanya dibunuh dalam perang dan musuh
penyerang wilayah itu tidak mengetahui persis marganya, sehingga anak itu kemudian
diangkat menjadi anak angkat dan diberikan marga mengikuti orang yang
mengadobsinya., Kedua, anak yang ditinggalkan oleh ayahnya dan masuk marga dari
“mama/ibunya” karena yang membesarkan dan memiliki nama besar dari keluarga
mama/ibunya (om-om). Walaupun demikian dalam tipe kedua ini ketika anak yang
bersangkutan dewasa dia bisa saja kembali ke keluarga ayahnya, dalam kondisi
itu om-omnya merelakan dia pergi namun anak tersebut memiliki ikatan emosional
yang kuat dengan om-omnya dari pada dengan keluarga ayahnya.
Dalam konteks sesorang diangkat menjadi pemimpin atau Big
Man diwilayah balim juga tidak sembarang dan asal-asallan, orang pantas
diberikan dan/atau mendapatkan gelar tersebut biasanya dibuktikan dari kualitas
dirinya seseorang dalam komunitasnya dengan demikian maka mereka-merakalah yang
berhak memperoleh gelar Pemimpin atau Big Men. Untuk menjelaskan kriteria
pemberian gelar kepada seseorang diwilayah adat mbalim Socrates Sofyan Yoman
menegaskan dengan menjadikan “Gelar Adat
Dumma” sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa “orang yang diberikan
bergelar Dumma adalah nama dan gelar adat yang diberikan kepada orang yang
telah nyata-nyata menunjukan baktinya kepada masyarakat. Dimana yang
bersangkutan telah berhasil memberikan rasa aman dan damai kepada masyarakat.
Anak sulung balim senter dengan mengunakan marga wenda
sebagai objek pemberiannya kepada orang asing yang tidak pernah lahir, tumbuh,
dan berkembang dalam klen marga wenda yang dilakukan menjelang Pemilu 2014
merupakan tindakan pelecehan terhada Hak Asasi Masyarakat Adat Papua karena
penyandang gelar anak sulung merupakan pemberian Allah kepada masyarakat adat
papua khususnya orang mbalim yang akan diberikan kepada setiap anak-anak sulung
dalam keluarga, jadi setiap anak-anak sulung dari Geng atau orang tua bermarga
Wenda kepada anak pertamanya atau anak sulungnya yang lahir dari rahim istri
sah (setelah nikah adat).
Pemberian Marga Wenda kepada Jhon Rande
Mangontan yang jelas-jelas adalah Orang Toraja dari Pulau Sulawesi atau
Celebes yang merupakan orang asing didalam struktur sosial Orang Mbalim dan
umumnya Masyarakat Adat Papua. Dalam proses pemberian marga wenda kepada orang
asing diatas juga dilakukan Tanpa Konsultasi dengan semua Pemilik
Marga Wenda yang tersebar diseluruh Wilayah Adat La Pago yang tergolong
kedalam klen waya atau klen pemilik marga wenda, dan pemberiannya juga
dilakukan bukan dalam momentum budaya akan tetapi momentum politik sehingga
benar-benar menunjukan peristiwa pelecehan dan pelanggaran hak identitas marga
wenda secara khusus dan masyarakat adat papua secara umum.
Berdasarkan fakta uraian diatas secara jelas telah
menodai unsur filosofis pemberian marga
dan hak kesulungan masyarakat adat papua secara umum dan secara khusus
marga wenda yang telah berlangsung secara turun temurun sampai sekarang dan
akan terus dipertahankan sepanjang masa karena hal tersebut merupakan bagian
dari identitas sosial masyarakat adat papua, dan melaluinyalah yang membedakan Bangsa
Papua dengan Suku Bangsa lainnya dimuka bumi ini.
2. Profil Ir. Jhon Rande Magontan
(Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua)
Nama : Ir. Jhon Rende
Mangonta
(Caleg DPR-RI Daerah Pemilihan Papua
Nomor Urut 6 dari Partai Nasional Demokrasi)
Tempat
tanggal lahir : Makasar, 17 November 1968
Alamat
: Jl. Parkit, Blok
L.31, RT. 001 RW. 006,
Kel. VIM, Abepura, Kota Jayapura,
Papua
Istri
: Tikuraga
Bumbungan, S.si
Anak
: 2 (dua) Orang
Sejarah
Pendidika :
-
1975 – 1981, SDN Kandora, Mengkendek
Tana Toraja
-
1981 – 1984, SLTP Angkasa Lamud
Hassanudin, makasar
-
1985 – 1988, SLTA Khatolik Karunia Darma
Papua
-
1990 – 1994, S1 Univesitas 45 Makasar,
Selawesi Selatan
Riwayat
Organisasi :
-
2007 – 2007, Pembina Kombong, Papua
-
2008 – 2008, IKT Prov Papua, Papua
-
2013 – 2013, Pembina Karang Taruna,
Papua
Riwayat
Pekerjaan :
-
1994 – 2000, PT. Kogas, Tenaga Ahli,
Papua
-
2000 – 2005, PT. WKP, Kepala Cabang
-
2006 – 2013, PT. Yotefa Indah, Direktur
Utama
-
2008 – 2013, PT. Vita Enginer
Contraktor, Komisaris
-
2012 – 2013, PT. 3L Arung Samudra, Komisaris
3. Kronologis Kejadian Pelecehan Hak
Identitas Adat
Agar dapat memberikan kejelasan terkait peristiwa
pelecehan dan pelanggaran hak identitas marga wenda yang merupakan pelanggaran
Hak Asasi Masyarakat Adat Papua diatas maka akan diuraikan kronologis peristiwa
dimaksud.
1. Bahwa pertiwa pemberian Marga Wenda dan
derajat anak sulung Balim senter atau dengan kata lain anak sulung dari
keluarga Wenda diwilayah Balim Center terjadi pada kampanye Nasdem diwamena
pada tanggal 25 maret 2014;
2.
Bahwa pada saat kampanye tersebut, Agus
Wenda (ketua Timsus dari Pemekaran DOB Balim Senter) menegaskan bahwa :
sebaganyak 80 Kepala Suku diwilayah Pegunungan Tengah papua mengukuhkan Caleg
DPR RI Dapil Papua dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) Nomor Urut 6 Ir. Jhon
Rende Magontan (JRM) sebagai anak adat dan anak sulung Balim Senter dengan
pangilan Jhon Wenda;
3. Bahwa Ketua Tim Daerah Operasi Baru
(DOB) Baliem Center Agus Wenda menuturkan bahwa Pegukuhan JRM sebagai anak adat
dan nak sulung baliem senter telah disetujui oleh 80 Kepala Suku Baliem Senter;
4. Bahwa proses pengukuhan JRM sebagai anak
adat dan anak sulung Baliem Senter ditandai dengan penyerahan Noken dan
pemasungan mahkota burung cenderawasih dan disaksikan oleh ketua Tim Pemekaran
DOB Balim Senter Agus Wenda dan 80 Kepala Suku, Tokoh Masyarakat, Toko Agama,
Toko Perempuan, dan Tokoh Pemuda Baliem Senter
5. Bahwa menurut ketua tim Pemekaran DOB
Baliem Center pengukuhan JRM sebagai anak adat dan anak sulung baliem center
bukan datang secara kebetulan, tapi merupakan suatu penghormatan khusus bagi John
Rande Manguntan karena beliau salah satu anggota Tim Pemekaran DOB baliem
Center dimana ia bersama masyarakat setempat selama ini memiliki tugas dan
tanggungjawab untuk berjuang mewujudkan terbentuknya kabupaten Baliem center.
4. Isu Politik Dibalik Pemberian Marga
Wenda dan Derajat Anak Sulung
Pelanggaran Hak Identitas Masyarakat Adat Papua yang
terjadi dalam Keluarga Besar Pemilik Marga Wenda ini disebabkan oleh dua isu
politik, yaitu :
1. Ada
pertarungan antara dua kelompok yang memperjuangkan terbentuknya Baliem Center
sebagai Daerah Otonom Baru (DOB), dua kubu dimaksud masing-masing di ketua oleh
Agus Wenda disatu kubunya dan Letinus Yikwa dikubu lainnya. Selain pertarungan
tersebut juga terlihat pertarungan perolehan suara untuk kepentingan menjadi
calon Legislatif baik di Propinsi Papua maupun di Pusat antara beberapa pihak
itu sendiri dimana Ir. John Rande mangontan dari partai NasDem dipihak Agus
Wenda dan Letinus Yikwa dipihak lain juga mencalonkan diri dari Partai Hanura;
2. Keyakinan
Ketua Tim Sukses Kabupaten Balim Center Saudara Agus Wenda bahwa Ir. John Rende
Magonta akan memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Baliem Center melalui DPR RI
selama yang bersangkutan duduk sebagai DPR RI Perode 2014 – 2019 dengan
demikian maka 56.000 suara dari 10 distrik di wilayah Baliem Center yang belum
menjadi daerah Otonom Baru itu akan diberikan kepada beliau dengan mengunakan
sistim noken
C. Dasar Hukum Yang Dilanggar
UUD 1945 secara jelas dalam Pasal 18B ayat (2) menjelaskan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Berdasarkan penegasan pada
kostitusi diatas serta Nota
Kesepakatan Antara AMAN dan KOMNASHAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) yang
dibuat pada tanggal 17 Maret 2009 yang
bertujuan untuk merumuskan
langkah-langkah dalam rangka “pegarus-utamaan
pendekatan berbasis hak asasi manusia masyarakat adat di Indonesia”. Ada
lima hal yang disepakati dalam nota kesepakatan tersebut, yaitu:
1. Mensosialisasi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi
2. Menyelengarakan pertukaran informasi secara
teratur/berkala
3. Melakukan kajian tentang keberadaan masyarakat adat dan
hak-hak asasinya di Indonesia
4. Mengembangkan mekanisme penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia Masyarakat pribumi
5. Mendorong ratifikasi protokol Opsional Kovenan
Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Berdasarkan
MOU diatas selanjutnya memberikan ruang untuk digunakannya Dasar Hukum
Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat yang telah diatur dalam
Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat Dunia untuk
menjadikan dasar legal dalam mengukur dan menegaskan adanya Pelanggaran Hak
Asasi Masyarakat Adat Papua dalam Pemilu 2014 sembari mengadobsi dasar MOU poit
4 agar dapat menyelamatkan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dari kepentingan
politik individu, institusi, dan negara.
Pasal
5
Masyarakat Adat
mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat
ciri-ciri mereka yang berbeda dibidang politik,
hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh,
jika mereka menghendaki, dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial
dan budaya Negara;
Pasal 8
b. Masyarakat adat dan warga-warganya
memiliki hak untuk tidak menjadi target dari pemaksaan percampuran budaya atau
pengrusakan budaya mereka.
c. Negara akan menyediakan mekanisme yang
efektif untuk mencegah, dan mengganti kerugian atas:
1. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan
atau berakibat pada hilangnya keutuhan mereka sebagai kelompok masyarakat yang
berbeda, atau dari nilai-nilai kultural atau identitas etnik mereka;
2. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan
atau berakibat pada tercerabutnya mereka dari tanah, wilayah atau sumber daya
mereka;
3. Setiap bentuk pemindahan penduduk yang
mempunyai tujuan atau berakibat melanggar atau mengurangi hak apa pun kepunyaan
mereka;
4.
Setiap bentuk pemaksaan pencampuran
budaya atau penggabungan dengan budaya lain
5.
setiap bentuk propaganda yang mendukung
atau menghasut diskriminasi rasial atau diskriminasi etnis yang ditujukan
langsung untuk terhadap mereka;
Pasal 11
1. Masyarakat adat mempunyai hak untuk
mempraktikkan dan memperbarui tradisi-tradisi dan adat budaya mereka. Hal ini
meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud
kebudayaan mereka di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti
situs-situs arkeologi dan sejarah, artefak, disain, upacara-uparaca, teknologi,
seni visual dan seni pertunjukan dan kesusasteraan.
2. Negara-negara akan melakukan pemulihan
melalui mekanisme yang efektif termasuk restitusi, yang dibangun dalam
hubungannya dengan masyarakat adat, dengan rasa hormat pada kekayaan budaya,
intelektual, religi dan spiritual mereka, yang telah diambil tanpa persetujuan
bebas dan sadar dari mereka, atau yang melanggar hukum-hukum, tradisi dan adat
mereka.
Pasal 31
1. Masyarakat adat memiliki hak untuk
menjaga, mengontrol, melindungi dan mengembangkan warisan budaya mereka,
pengetahuan tradisional dan ekspresi-ekspresi budaya tradisional, seperti juga
manifestasi ilmu pengetahuan mereka, teknologiteknologi dan budaya-budaya,
termasuk sumber daya manusia dan sumber daya genetic lainnya, benihbenih,
obat-obatan, permainan-permainan tradisional dan seni pentas. Mereka juga
memiliki hak untuk menjaga, mengontrol, melindungi dan mengembangkan kekayaan
intelektual, warisan budaya, pengetahuan tradisional, dan ekspresiekspresi
budaya mereka.
2. Bersama dengan masyarakat adat, negara-negara
akan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mengakui dan melindungi
pelaksanaan hak-hak tersebut.
Pasal 33
1. Masyarakat adat mempunyai hak untuk
menentukan identitas mereka sendiri atau keanggotaan menurut
kebiasaan-kebiasaan dan tradisi mereka. Ini tidak akan menghambat hak-hak
wargawarga dari masyarakat adat untuk memperoleh kewarganegaraan Negara di mana
mereka hidup.
2. Masyarakat adat mempunyai hak untuk
menentukan susunan, dan untuk memilih keanggotaan dari, kelembagaan-kelembagaan
mereka sesuai dengan prosedur mereka sendiri.
Selain diatur dalam Deklarasi Internasional Tentang Hak
Asasi Masyarakat Adat dinegara Indonesia juga telah memiliki aturan hukum yang
menjamin Hak Asasi Masyarakat adat, seperti yang tersirat dalam Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, secara terperinci diatur dalam
beberapa pasal dibawah ini :
Pasal 6
1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi
kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama
menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Pasal 67
Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada
peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi
dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Selain itu secara gamlang tentang Hak Asasi Masyarakat
Adat Papua telah diatur secara khusus dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Papua, pada bagian bab tersendiri yaitu BAB XI PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT
dan didalam beberapa pasal dibawah ini:
Pasal
43
(1) Pemerintah
Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan hukum yang berlaku.
(2) Hak-hak
masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum
adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan
hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat
setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh
pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penyediaan
tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan
apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga
yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang
diperlukan maupun imbalannya.
(5) Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian
sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana,
sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Pasal
44
Pemerintah Provinsi
berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
D. Analisis Dampak Konflik Jangka
Pendek dan Jangka panjang
- Konflik Jangka Pendek
-
Perpecahan
Keluarga Wenda
Peristiwa pemberian gelar anak sulung dan mengatasnamakan
marga wenda kepada Ir. Jhon Rande Manggota yang adalah orang asing dalam
struktur hidup orang mbalik dan secara khusus marga wenda jelas-jelas
mengaetkan seluruh pemilik marga wenda dimanapun mereka berada. Sekian banyak
pertanyaan diajukan untuk mengkritik peristiwa itu seperti ada yang menanyakan
dimana dusun Jhon Rande Manggota diwilayah baliem central, selain itu ada juga
yang menanyakan atas ijin siap marga wenda diberikan kepadanya dan lebih
jauhnya mereka menyakan apakah telah ada konsensu untuk menghadirkan orang
asing dalam keluarga ?.
Selain pernyaan secara
tegas para pemilik marga wenda menegaskan penolakan kepada pemberi marga dan
juga penerima marga dan secara tegas mereka menyatakan penolakan total terhadap
kehadiran Ir. Jhon Rande Manggota maupun siapa saja tanpa consensus berdasarkan
kepentingan ekonomi dan politik kepentinga sesaat.
Kenyataan ini telah menimbulkan konflik structural baru
dalam tatan sosial budaya orang mbalim dan khususnya keluarga marga wenda,
kenyataan itu jika dibiarkan tanpa akan menimbulkan penghancuran struktur
budaya masyarakat adat papua yang merupakan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua
yang dilindungi secara legal.
-
Definis
Anak Sulung Bagi Orang Mbalim
Bagi orang mbalim khususnya orang orang wenda anak sulung
adalah seuatu yang sacral dan merupakan penghormatan budaya “segala kekuatan
dan kegagahan seorang bapak/ayah dan ibu, terletak pada anak tertua dan mandate
ini dilarang keras untuk diberikan kepada siapapun selain anak sulung. Anak
sulung tidak dapat diterjemahkan dalam konteks perjuangan politik praktis
(partai), perjuangan DOB dan perjuangan lainnya. Anak sulung adalah mandate
budaya, mandate regenerasi sepanjang sejarah peradaban orang balim, mandate
sacral dari keluarga wenda, dan semua keluarga diwilayah adat la pago secara
khusus dan wilayah adat papua secara umum. Oleh karena itu maka kami menentang
warisan sejarah budaya kami yang adalah bagian dari kepribadian kami
diobok-obok oleh segelintir orang (Agus Wenda) dengan mengatasnamakan politik
perjuangan pemekaran daerah Operasi Baru (DOB) yang berdampak pada penempatan
Hak Kesulungan kami pada arus politik yang kotor.
-
Definisi
Dumma atau Big Man bagi Orang Mbalim
Dalam kebudayaan orang mbalim “Dumma atau Big Man” hanya
untuk orang mbalim dan tidak pernah diperuntukan untuk orang asing. Anak adobsi
juga tidak memiliki hak untuk menyandang gelar tersebut.
-
Konflik
Sistim Noken
Penegasan agus wenda tentang 56.000 suara dari 10 distrik
suara hanya untuk Jhon Rande Manggotan yang akan diberikan dengan cara suara ikat
dalam noken untuk kandidat yang dijagokannya, secara jelas-jelas akan melanggar
Pasal 43 ayat (1) : setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
berlangsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”, UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Selain pelanggran Hak Politik diatas, jika pada Pemilu
2014 nanti sistim noken yang digunakan maka secara otomatis akan melahirkan
konflik baru yang dapat merebak pada segala sector, seperti :
o
Antara pendukung masing-masing calon
legislatif DPR RI karena dari wilayah yang sama selain Jhon yang calonkan diri
ada juga calon putra daerah lainnya, seperti Paskalis kosay, Penesina Kogoya,
Alex Hesegem, Agustina Basikbasik, Wilem Wandik, dan Ismail Asso;
o
Antara caleng dan big man,
o
antara tim sukses Daerah Otonom Baru,
o
antara PPD, PPS, KPPS, Kepala Kampung,
Kepala Distrik, Pemerintah daerah dan KPUD dalam proses perebutan suara.
- Konflik Jangka Panjang
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada
tiga hal utama yang inti persoalan yang akan memicu terjadinya konflik yang
berkepanjangan, diantaranya : “1). klaim pemberian marga dan 2). pemberian
penghargaan anak sulung, dan 3). kalim pemberian suara mengunakan sistim noken.
Tiga hal tersebut secara hukum merupakan tindakan
pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi masyarakat Adat Papua
sehingga tidak segerah diantisipasi sebelum memasuki tanggal 9 April 2014 maka
secara jelas akan berdampak pada konflik yang berkepanjangan dan akan merambat
ke semua aspek.
Sebagai anak pemilik magra wenda dan juga sebagai anak
adat la pago yang juga sebagai anak adat papua secara tegas menyatakan
bahwasannya tiga hal pokok diatas itulah yang telah mengganggu tatanan keluarga
wenda secara khusus dan telah memancing kemarahan anak adat la pago serta semua
intelektua papua yang sedang mengikuti dinamika proses politik yang menggangu
dan menodai warisan Budaya orang Papua yang merupakan bagian dari pada Hak
Asasi Masyarakat Adat Papua.
Jika pada tanggal 9 April 2014 akan pemilu tetap
dijalankan tanpa membenahi pelanggaran-pelanggaran hukum dan hak Asasi
Masyarakat Adat diatas maka secara tegas dapat disimpulkan bahwasannya negara
Indonesia hanya menjadi symbol Bineka Tuggal Ika hanyalah slogan belaka karena
dalam prakteknya tidak ada penghargaan sama sekali, selain walapun perlindungan
Hak Asasi Masyarakat Adat telah dijamin dalam Konstitusi dan juga secara khusus
didalam UU Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi Khusus Papua namun
implementasinya tidak ada penghargaan apapun. Memang dalam konteks Kepala
Daerah sudah diakomodir namun itupun hanya sebatas kepala daerah dan dapat
disimpulkan baru satu belum semuanya jadi kesimpulannya belum ada perlindungan
apapuan yang diberikan negara Indonesia terhadap Hak Asasi masyarakat Adat
papua.
Pemilu sebagai perwujudan demokrasi dalam negara
Indonesia yang didalamnya tidak menghiraukan Hak Asasi masusia (Hak Politik
yaitu pilih dipilih dan pilihan bebas) serta sarat akan pelanggaran Hak Asasi
Masyarakat Adat Papua yang ditandai dengan penerapan sistim noken dalam setiap
pemilu ditanah papua telah menjadi pemicu konflik tersukses di Indonesia,
pertanyaannya mengapa dalam Pemilu 2014 masih saja diberlakukan ?, bukankah
Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi masyarakat Adat di dunia telah
disahkan oleh Perserikatan bangsa bangsa (PBB) dan telah dibawah oleh Aliansi
masyarakat Adat Nusantara ke Indonesia dan telah membuat nota kesepahaman antara
AMAN dan KOMNAS HAM untuk mensosialisasinya dan juga menyelamatkan Hak Asasi
Masyarakat Adat dari keserahkan sistim pemerintahan yang sarat akan KKN dan
juga telah bersahabat mesrah dengan Investor baik di tingkat Pusat maupun di
daerah.
Berdasarkan kenyataan dalam semua implementasi pemilu
semuannya menua konflik yang berkepanjangan dan didalamnya sarat akan
pelanggaran Hak Asasi masyarakat Adat Papua seperti 3 hal yang disebutkan
diatas, melalui kenyataan dan pertanyaan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
negara Indonesia sedang mengajarkan pendidikan politik dan demokrasi yang
keluru kepada seluruh masyarakat adat papua diatas kenyataan dimana negara
Indonesia secara sistemik sedang melakukan pelanggaran Hak Asasi manusia dan
Hak Asasi Masyarakat Adat Papua telah yang dijamin dalam peraturan perundang
undangan yang berlaku didalam negara Hukum Indonesia dalam Pemiluhan Umum
2014.
E. Penutupan
Dari uraian panjang lebar diatas kami Solidaritas Anak Adat Mahasiswa Papua Se-Jawa-Bali dan tanah Papua dan
Keluarga Pemilik Marga Wenda secara terpisah ingin menyampaikan tuntutan
kepada Pihak-pihak yang bersangkutan, diantaranya :
1. Solidaritas Anak Adat mahasiswa
Papua Se-jawa-Bali dan tanah Papua
a. Negara Indonesia wajib menghargai,
melindungi, dan menghormati Hak Asasi masyarakat Adat Papua, khususnya dibidang
budaya yang telah dihancurkan secara sistematis selama 51 Tahun dengan
pendekatan kurikulum (Pendidikan) yang dirumuskan dari Jakarta dan dalam
prakteknya melarang digunakanannya Bahasa Asli dan menghafal bahasa Indonesia;
b. Saudara/I dari wilayah lain di Indonesia
jangan memanfaatkan kesederhanaan Masyarakat Adat Papua sebagai batu loncatan
untuk menguasai semua Hak Milik Masyarakat Adat Papua dan dihimbau kepada warga
non Papua di seluruh wilayah papua untuk menghargai hak-hak dasar Masyarakat
Adat Papua;
c. Ditegaskan kepada Orang Non Pribumi
papua yang telah menguasai sector ekonomi untuk jangan lagi menguasai budaya
yang adalah jati diri kami orang papua untuk dieksploitasikan demi kepentingan
penguasaan sekor politik;
d. Sudah saatnya Orang Papua menjadi Tuan
dalam bidang politik praktis di era Otonomi Khusus maka orang non pribumi papua
wajib memberikan kesempatan bagi kepada Masyarakat Adat Papua untuk menduduki
Parlemen Papua dan Mewakili Wilayah Papua di Perlemen Republik Indonesia;
e. KPU, Panwas, Komnas HAM RI segerah
menindaklanjuti Tindakan Pelanggaran Hak Asasi masyarakat Adat Papua Khususnya
Hak Warisan Budaya dan Hak Identitas Marga Wenda yang dilecehkan pada Masa
kampanye oleh Ir. John Rende Mangontan Caleg DPR RI Dapil Papua Nomor Urut 6
dari Partai Nasonal Demokrasi (NasDem) karena hal marga merupkan jatidiri yang
merupakan satu-satunya kekayaan yang melekat pada diri setiap anak adat Papua;
f.
Kami dengan tegas menolak penerapan
sistim noken diseluruh wilayah papua karena akan melanggar hak politik individu
dan selanjutnya diusulkan untuk mengunakan sistim satu orang satu suara dan
pilihan bebas sesuai hati nurani tanpa pembatasan sebagai bentuk penghargaan
dan pembangunan demokrasi;
g. Mendesak KPU Pusat, Panwaslu, Penegak
Hukum untuk menegaskan kepada Caleg untuk mengedepankan norma hukum dan
demokrasi dalam pemilu 2014 dan jangan mengadubomba masyarakat agar tidak
terjadi konflik yang mengakibatkan korban;
h. Dihimbau Kepada semua pemangku
kepentingan dalam pemilu 2014 untuk jangan mempolitisir atau memanipulasi hak
Identitas (Marga) Masyarakat Adat Papua dalam Pemilu 2014 diseluruh tanah
papua;
i. Komnas HAM Republik Indonesia segerah
mendesak Negara Indonesia Untuk meratifikasi Deklarasi Internasional Tentang
Hak Asasi Masyarakat Adat untuk melindungi Hak Asasi Masyarakat Adat di
Indonesia secara Umum dan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua secara khusus.
2. Keluarga Pemilik Marga Wenda
a) Dihimbau kepada Ir. John Rende mangonda
secara berbudaya dan terhormat segerah mengembalik marga Wenda dan hak
kesulungan kepada pemilik Marga asli (Wenda);
b) Kami menolak saudar/I yang mengatasnakan
tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh agama, dan tokoh pemuda yang telah menjual
hak kesulungan dan marga yang dimiliki, karena marga Wenda bukan milik orang
balik senter saja tetapi semua wilayah di Pegunungan yang memiliki marga wenda
dirugikan karena pemberian yang dilakukan diluar prosedur adat;
c) Dihimbau kepada Penerima marga agar
pengembalian itu dilakukan secara umum melalui “Media masa Lokal dan nasional”;
d) Mendesak agar Komnas HAM RI, KPU, PANWAS
untuk mendesak Partai NasDem untuk melakukan dua tuntutan pada poin (a) dan (c)
e) Mendesak seluruh Parpol agar tidak masuk
dalam wilayah adat khususnya diwilayah Mbaliem meliputi 10 Kabupaten di wilayah
adat La Pago (Penungan Bintang, Yahukimo, Yalimo, Mamteng, Tolikara, Lanny
Jaya, Jayawijaya, Nduga, Puncak Papua, dan Puncak Papua) dan tidak memanfaatkan
adat sebagai sarana untuk kepentingan politik dalam Pemilihan Umum didaerah.
Jika laporan dan tuntutan kami tidak ditindak lanjuti
maka kami Solidaritas Anak Adat Mahasiswa Se Jawa Bali dan Tanah Papua dan
Keluarga Pemilik Magra Wenda akan :
- Menyerukan Kepada Seluruh Masyarakata Adat Papua untuk Boikot Pemilu 2014 Yang jelas-jelas telah melanggara Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dan
- Menuntut Negara Indonesia Karena Telah Membuat Sistim Pemiluhan Umum yang jelas-jelas menggorbankan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar