Senin, 07 April 2014

PEMILU 2014





PEMILU 2014
MELANGGAR HAK ASASI MASYARAKAT ADAT PAPUA
(Pelecehan dan Pelanggaran Hak Politik dan Hak Identitas Masyarakat Adat Papua)



A.    Pandangan Umum

Negara Indonesia sebagai negara Hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), sebagai konsekwensi dari status negara hukum maka negara wajib menjamin Hak Asasi Manusia warga negaranya dalam Konstitusinya dan selain itu memiliki lembaga peradilan yang independen dan mandiri. Jika dilihat dalam UUD 1945 semua persyaratan sebagai Negara Hukum telah termuat hanya saja belum terrealisasi secara sempurna, berdasarkan kenyataan dapat disebutkan bahwa kejadian itu disebabkan karena aturan hukumnya yang tumpang tindih dan disisilain diakibatkan oleh aparatus negaranya yang tidak professional.

Selain Indonesia sebagai negara Indonesia juga mengkalim dirinya sebagai Negara Demokrasi, salah satu bentuk perwujudan negara demokrasi tersebut dapat diukur dengan adanya pelaksanaan Pemilihan Umum atau PEMILU 5 (liam) tahun sekali baik Pemilihan Eksekutif maupun Legislatif Pusat maupun Daerah. Memang dalam prakteknya sempat terjadi perubahan teknis perwujudan dalam pemilihan dimana awalnya hanya dilakukan oleh legislatif untuk memilih eksekutif namun kini semuanya dilakukan Secara Langsung dimana Masyarakat yang langsung memilih pemimpinya dalam pemerintahan baik eksekutif maupun legilatif diseluruh tingkatan.

Dalam pelaksanaannya banyak sekali persoalan yang sering timbul baik yang diakibatkan oleh KPU, Pemilih, atau bahkan oleh Calon Legislatif maupun Calon Eksekutif, atau justru diakibatkan oleh pihak-pihak tertentu yang mengejar kepentingan tertentu. Berdasarkan kenyataan pelaksanaan Pemilihan Umum diseluruh Tanah Papua yang tercatat paling banyak pelanggaran baik asas demokrasi, hukum dan Hak Asasi Manusia serta Hak Asasi Masyarakat Adat Papua.

Telah banyak konflik horizontal yang terjadi pasca PEMILU yang sering diistilahkan dengan “Konflik Pemilu” seperti Konflik Pilkada di Puncak Papua, Tolikara, Papua Barat, dan lain sebagainya. Setelah ditelusuri ternyata diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya : 1). Ketidakdewasaan politikus praktisnya, 2). Kesalahan Sistim Penerapan Pemilunya, 3) Nihilnya pendidikan politik yang bermartabat kepada Masyarakat Adat Papua.

Jika dikaji maka dapat disimpulkan, Hal Pertama diatas diakibatkan karena semakin merebaknya virus keserhakaan dan juga virus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang selalu menciptakan masing-masing kubu yang membutakan mata untuk melihat prinsip-prinsip berpolitik yang profesiaonal., Hal Kedua itu terlihat dimana pemerintah selalu menerapkan sistim pemilihan yang tidak menghargai hak politik warga negara yang dijamin dalam konstitusi sebagai contoh dengan mengunakan “Sistim Noken” dalam setiap PEMILU di Papua yang telah menelan korban jiwa dan harta benda diatas Pelanggaran Asas Pemilihan yang Indiviu, Jujur, dan Adil, serta Pelanggaran Hukum yang telah menjamin Hak Pilih, dan juga berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat karena banyak Caleng dan Cabub yang sering memanfaatkan unsur-unsur adat dimasa kampanyenya seperti penciptaan struktur sosial baru berdasarkan kepentingan yang ditunjuk dengan penunjukan Kepala Suku baru atau Lembaga Masyarakat Adat Baru seperti yang marak terjadi., Hal Ketiga itu terbukti dimana sejak awal Papua bergabung dengan Indonesia belum pernah diseleggarakan Pemilihan Secara Langsung dari Masyarakat untuk Masyarakat namun yang sudah, sering, dan akan dilaksankan adalah : di tahun 1969 dalam PEPERA dilaksanakan mengunakan Sistim Musyawara Mufakat (perwakilan), selanjutnya dari tahun 1970-an sampai dengan tahun 2004 pemilihan dilakukan secara perwakilan oleh Legislatif (Perwakilan), dan 2004 – 2019 dilakukan dengan Sistim Noken.

Untuk menunjukan adanya Pelecehan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia serta Hak Asasi Masyarakat adat di Papua dalam Pemilu 2014 serta Modus, kepentingan-kepentingan dibelakanggnya, dan dampak konflik sosial yang bakal berimbas kesemua lini kehidupan diseluruh tanah papua pasca pemilu 2014 akan dijelaskan pada bagian lainnya.    

Maksud dan Tujuan Laporan
  1. Maksud
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan kepada Komnas HAM sebagai pemantau jalannya Pemilihan Umum bahwasannya telah, sedang, dan akan terjadi Pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua Dalam Pemilu 2014 Di Tanah Papua.

Berdasarkan kenyataan itu maka diharapkan agar Komnas HAM Republik Indonesia sebagai institusi legal negara yang didirikan Negara Indonesia untuk menegakkan Hak Asasi Manusia setiap warga negara termasuk Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dari sikap dan tindakan individu, instituisi, dan negara melalui penerapan sistim yang kontra dengan realitas keberagaman di Indonesia yang jelas-jelas akan akan berdampak pada konflik sosial yang berkepanjangan, maka diharapkan adanya tindakan segerah untuk mengatisipasi dampak Konfik Sosial yang akan terjadi selanjutnya.

Selain itu melaihat dan memaknai realitas bernegara dan berbangsa dengan negara Indonesia ternyata dalam semua bidang tidak pernah ada pengharagaan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua salah satunya adalah yang termanifestasikan dalam Pesta Demokrasi Indonesia yang dilakukan secara serempak diseluruh wilayah Indonesia, hal itu kemudian menimbulkan pertanyaan sebenarnya Indonesia menghargai Hak Asasi Masyarakat Adat ataukah hanyalah sebagatas penghargaan Formalitas saja.

Dengan demikian maka untuk melindungi Hak Asasi masyarakat Adat Papua secara sempurna dan berkelanjutan maka diharapkan agar Komnas HAM Republik Indonesia dapat mengagas dan mewujudkan proses Ratifikasi Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat Internasional menjadi Undang-Undang di negara Indonesia.

b.      Tujuan Laporan

Tulisan ini bertujuan untuk Melaporkan Dugaan Pelanggaran Hak Politik, Hak Warisan, dan Hak Identitas Masyarakat Adat Papua Khususnya Marga Wenda diwilayah adat Mbalim (La Pago) yang dilakukan oleh Ir. John Rande Magontan (Caleg DPR RI Dapil Papua Nomor Urut 6 dari Partai Nasional Demokrasi atau NasDem) dan Negara Indonesia yang telah menerapkan sistim noken untuk diberlakukan diwilayah papya serta KPUD di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat Se-tanah Papua yang akan Sistim Noken dalam Pemilihan Umum 2014

B.     Landasan Filosofis, Profil Pelaku, dan Kronologis Pelecehan Hak Identitas Adat
1.      Landasan Filosofis

Dalam budayaan orang mbalim cara mereka mengadobsi anak orang lain (orang asing) dan dimasukan dalam marga tertentu seperti “Marga Wenda” adalah sebagai berikut :
Pengangkatan orang asing menjadi bagian dari marga wenda atau marga lainnya diwilayah mbalim (la Pago) serta Papua secara umumnya tidak didasarkan atas agama, kepentingan politik, dan kedekatan dengan sesorang serta berdasarkan kedekatan satu atau dua orang yang dilandasi dengan kepentingan ekonomi dan politik mereka.

Secara turun temurun dalam budaya orang mbalim telah diatur “secara tidak tertulis” terkait syarat pemberian marga kepada orang asing dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu : Pertama, anak yang diadobsi akibat perang yang menimbulkan keluarga meninggalkan bayi dikampung kelahirannya atau orang tuanya  dibunuh dalam perang dan musuh penyerang wilayah itu tidak mengetahui persis marganya, sehingga anak itu kemudian diangkat menjadi anak angkat dan diberikan marga mengikuti orang yang mengadobsinya., Kedua, anak yang ditinggalkan oleh ayahnya dan masuk marga dari “mama/ibunya” karena yang membesarkan dan memiliki nama besar dari keluarga mama/ibunya (om-om). Walaupun demikian dalam tipe kedua ini ketika anak yang bersangkutan dewasa dia bisa saja kembali ke keluarga ayahnya, dalam kondisi itu om-omnya merelakan dia pergi namun anak tersebut memiliki ikatan emosional yang kuat dengan om-omnya dari pada dengan keluarga ayahnya.

Dalam konteks sesorang diangkat menjadi pemimpin atau Big Man diwilayah balim juga tidak sembarang dan asal-asallan, orang pantas diberikan dan/atau mendapatkan gelar tersebut biasanya dibuktikan dari kualitas dirinya seseorang dalam komunitasnya dengan demikian maka mereka-merakalah yang berhak memperoleh gelar Pemimpin atau Big Men. Untuk menjelaskan kriteria pemberian gelar kepada seseorang diwilayah adat mbalim Socrates Sofyan Yoman menegaskan dengan menjadikan “Gelar Adat Dumma” sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa “orang yang diberikan bergelar Dumma adalah nama dan gelar adat yang diberikan kepada orang yang telah nyata-nyata menunjukan baktinya kepada masyarakat. Dimana yang bersangkutan telah berhasil memberikan rasa aman dan damai kepada masyarakat.

Anak sulung balim senter dengan mengunakan marga wenda sebagai objek pemberiannya kepada orang asing yang tidak pernah lahir, tumbuh, dan berkembang dalam klen marga wenda yang dilakukan menjelang Pemilu 2014 merupakan tindakan pelecehan terhada Hak Asasi Masyarakat Adat Papua karena penyandang gelar anak sulung merupakan pemberian Allah kepada masyarakat adat papua khususnya orang mbalim yang akan diberikan kepada setiap anak-anak sulung dalam keluarga, jadi setiap anak-anak sulung dari Geng atau orang tua bermarga Wenda kepada anak pertamanya atau anak sulungnya yang lahir dari rahim istri sah (setelah nikah adat).

Pemberian Marga Wenda kepada Jhon Rande Mangontan yang jelas-jelas adalah Orang Toraja dari Pulau Sulawesi atau Celebes yang merupakan orang asing didalam struktur sosial Orang Mbalim dan umumnya Masyarakat Adat Papua. Dalam proses pemberian marga wenda kepada orang asing diatas juga dilakukan Tanpa Konsultasi dengan semua Pemilik Marga Wenda yang tersebar diseluruh Wilayah Adat La Pago yang tergolong kedalam klen waya atau klen pemilik marga wenda, dan pemberiannya juga dilakukan bukan dalam momentum budaya akan tetapi momentum politik sehingga benar-benar menunjukan peristiwa pelecehan dan pelanggaran hak identitas marga wenda secara khusus dan masyarakat adat papua secara umum.

Berdasarkan fakta uraian diatas secara jelas telah menodai unsur filosofis pemberian marga dan hak kesulungan masyarakat adat papua secara umum dan secara khusus marga wenda yang telah berlangsung secara turun temurun sampai sekarang dan akan terus dipertahankan sepanjang masa karena hal tersebut merupakan bagian dari identitas sosial masyarakat adat papua, dan melaluinyalah yang membedakan Bangsa Papua dengan Suku Bangsa lainnya dimuka bumi ini.





2.      Profil Ir. Jhon Rande Magontan (Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua)

Nama                           : Ir. Jhon Rende Mangonta
  (Caleg DPR-RI Daerah Pemilihan Papua
  Nomor Urut 6 dari Partai Nasional Demokrasi)
Tempat tanggal lahir      : Makasar, 17 November 1968
Alamat                         : Jl. Parkit, Blok L.31, RT. 001 RW. 006,
                                      Kel. VIM, Abepura, Kota Jayapura, Papua
Istri                              : Tikuraga Bumbungan, S.si
Anak                            : 2 (dua) Orang

Sejarah Pendidika :
-          1975 – 1981, SDN Kandora, Mengkendek Tana Toraja
-          1981 – 1984, SLTP Angkasa Lamud Hassanudin, makasar
-          1985 – 1988, SLTA Khatolik Karunia Darma Papua
-          1990 – 1994, S1 Univesitas 45 Makasar, Selawesi Selatan

Riwayat Organisasi :
-          2007 – 2007, Pembina Kombong, Papua
-          2008 – 2008, IKT Prov Papua, Papua
-          2013 – 2013, Pembina Karang Taruna, Papua

Riwayat Pekerjaan :
-          1994 – 2000, PT. Kogas, Tenaga Ahli, Papua
-          2000 – 2005, PT. WKP, Kepala Cabang
-          2006 – 2013, PT. Yotefa Indah, Direktur Utama
-          2008 – 2013, PT. Vita Enginer Contraktor, Komisaris
-          2012 – 2013, PT. 3L Arung Samudra, Komisaris




3.      Kronologis Kejadian Pelecehan Hak Identitas Adat

Agar dapat memberikan kejelasan terkait peristiwa pelecehan dan pelanggaran hak identitas marga wenda yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua diatas maka akan diuraikan kronologis peristiwa dimaksud.
1.    Bahwa pertiwa pemberian Marga Wenda dan derajat anak sulung Balim senter atau dengan kata lain anak sulung dari keluarga Wenda diwilayah Balim Center terjadi pada kampanye Nasdem diwamena pada tanggal 25 maret 2014;
2.      Bahwa pada saat kampanye tersebut, Agus Wenda (ketua Timsus dari Pemekaran DOB Balim Senter) menegaskan bahwa : sebaganyak 80 Kepala Suku diwilayah Pegunungan Tengah papua mengukuhkan Caleg DPR RI Dapil Papua dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) Nomor Urut 6 Ir. Jhon Rende Magontan (JRM) sebagai anak adat dan anak sulung Balim Senter dengan pangilan Jhon Wenda;
3.  Bahwa Ketua Tim Daerah Operasi Baru (DOB) Baliem Center Agus Wenda menuturkan bahwa Pegukuhan JRM sebagai anak adat dan nak sulung baliem senter telah disetujui oleh 80 Kepala Suku Baliem Senter;
4.   Bahwa proses pengukuhan JRM sebagai anak adat dan anak sulung Baliem Senter ditandai dengan penyerahan Noken dan pemasungan mahkota burung cenderawasih dan disaksikan oleh ketua Tim Pemekaran DOB Balim Senter Agus Wenda dan 80 Kepala Suku, Tokoh Masyarakat, Toko Agama, Toko Perempuan, dan Tokoh Pemuda Baliem Senter
5.    Bahwa menurut ketua tim Pemekaran DOB Baliem Center pengukuhan JRM sebagai anak adat dan anak sulung baliem center bukan datang secara kebetulan, tapi merupakan suatu penghormatan khusus bagi John Rande Manguntan karena beliau salah satu anggota Tim Pemekaran DOB baliem Center dimana ia bersama masyarakat setempat selama ini memiliki tugas dan tanggungjawab untuk berjuang mewujudkan terbentuknya kabupaten Baliem center.



4.      Isu Politik Dibalik Pemberian Marga Wenda dan Derajat Anak Sulung

Pelanggaran Hak Identitas Masyarakat Adat Papua yang terjadi dalam Keluarga Besar Pemilik Marga Wenda ini disebabkan oleh dua isu politik, yaitu :
1.   Ada pertarungan antara dua kelompok yang memperjuangkan terbentuknya Baliem Center sebagai Daerah Otonom Baru (DOB), dua kubu dimaksud masing-masing di ketua oleh Agus Wenda disatu kubunya dan Letinus Yikwa dikubu lainnya. Selain pertarungan tersebut juga terlihat pertarungan perolehan suara untuk kepentingan menjadi calon Legislatif baik di Propinsi Papua maupun di Pusat antara beberapa pihak itu sendiri dimana Ir. John Rande mangontan dari partai NasDem dipihak Agus Wenda dan Letinus Yikwa dipihak lain juga mencalonkan diri dari Partai Hanura;
2.    Keyakinan Ketua Tim Sukses Kabupaten Balim Center Saudara Agus Wenda bahwa Ir. John Rende Magonta akan memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Baliem Center melalui DPR RI selama yang bersangkutan duduk sebagai DPR RI Perode 2014 – 2019 dengan demikian maka 56.000 suara dari 10 distrik di wilayah Baliem Center yang belum menjadi daerah Otonom Baru itu akan diberikan kepada beliau dengan mengunakan sistim noken





C.    Dasar Hukum Yang Dilanggar

UUD 1945 secara jelas dalam Pasal 18B ayat (2) menjelaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Berdasarkan penegasan pada kostitusi diatas serta Nota Kesepakatan Antara AMAN dan KOMNASHAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) yang dibuat pada tanggal 17 Maret 2009 yang bertujuan untuk merumuskan langkah-langkah dalam rangka “pegarus-utamaan pendekatan berbasis hak asasi manusia masyarakat adat di Indonesia”. Ada lima hal yang disepakati dalam nota kesepakatan tersebut, yaitu:
1.     Mensosialisasi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi
2.     Menyelengarakan pertukaran informasi secara teratur/berkala
3.     Melakukan kajian tentang keberadaan masyarakat adat dan hak-hak asasinya di Indonesia
4. Mengembangkan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia Masyarakat pribumi
5.  Mendorong ratifikasi protokol Opsional Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Berdasarkan MOU diatas selanjutnya memberikan ruang untuk digunakannya Dasar Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat yang telah diatur dalam Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat Dunia untuk menjadikan dasar legal dalam mengukur dan menegaskan adanya Pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dalam Pemilu 2014 sembari mengadobsi dasar MOU poit 4 agar dapat menyelamatkan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dari kepentingan politik individu, institusi, dan negara.

Pasal 5
Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda dibidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara;

Pasal 8
b. Masyarakat adat dan warga-warganya memiliki hak untuk tidak menjadi target dari pemaksaan percampuran budaya atau pengrusakan budaya mereka.
c.     Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencegah, dan mengganti kerugian atas:
1.  Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan mereka sebagai kelompok masyarakat yang berbeda, atau dari nilai-nilai kultural atau identitas etnik mereka;
2.  Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada tercerabutnya mereka dari tanah, wilayah atau sumber daya mereka;
3.  Setiap bentuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau berakibat melanggar atau mengurangi hak apa pun kepunyaan mereka;
4.      Setiap bentuk pemaksaan pencampuran budaya atau penggabungan dengan budaya lain
5.      setiap bentuk propaganda yang mendukung atau menghasut diskriminasi rasial atau diskriminasi etnis yang ditujukan langsung untuk terhadap mereka;

Pasal 11
1.     Masyarakat adat mempunyai hak untuk mempraktikkan dan memperbarui tradisi-tradisi dan adat budaya mereka. Hal ini meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud kebudayaan mereka di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti situs-situs arkeologi dan sejarah, artefak, disain, upacara-uparaca, teknologi, seni visual dan seni pertunjukan dan kesusasteraan.
2.  Negara-negara akan melakukan pemulihan melalui mekanisme yang efektif termasuk restitusi, yang dibangun dalam hubungannya dengan masyarakat adat, dengan rasa hormat pada kekayaan budaya, intelektual, religi dan spiritual mereka, yang telah diambil tanpa persetujuan bebas dan sadar dari mereka, atau yang melanggar hukum-hukum, tradisi dan adat mereka.


Pasal 31
1.  Masyarakat adat memiliki hak untuk menjaga, mengontrol, melindungi dan mengembangkan warisan budaya mereka, pengetahuan tradisional dan ekspresi-ekspresi budaya tradisional, seperti juga manifestasi ilmu pengetahuan mereka, teknologiteknologi dan budaya-budaya, termasuk sumber daya manusia dan sumber daya genetic lainnya, benihbenih, obat-obatan, permainan-permainan tradisional dan seni pentas. Mereka juga memiliki hak untuk menjaga, mengontrol, melindungi dan mengembangkan kekayaan intelektual, warisan budaya, pengetahuan tradisional, dan ekspresiekspresi budaya mereka.
2.  Bersama dengan masyarakat adat, negara-negara akan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mengakui dan melindungi pelaksanaan hak-hak tersebut.

Pasal 33
1.    Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan identitas mereka sendiri atau keanggotaan menurut kebiasaan-kebiasaan dan tradisi mereka. Ini tidak akan menghambat hak-hak wargawarga dari masyarakat adat untuk memperoleh kewarganegaraan Negara di mana mereka hidup.
2.  Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan susunan, dan untuk memilih keanggotaan dari, kelembagaan-kelembagaan mereka sesuai dengan prosedur mereka sendiri.
            
Selain diatur dalam Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat dinegara Indonesia juga telah memiliki aturan hukum yang menjamin Hak Asasi Masyarakat adat, seperti yang tersirat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, secara terperinci diatur dalam beberapa pasal dibawah ini :

Pasal 6
1.   Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2.  Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.

Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 67
Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
          
Selain itu secara gamlang tentang Hak Asasi Masyarakat Adat Papua telah diatur secara khusus dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, pada bagian bab tersendiri yaitu BAB XI PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT dan didalam beberapa pasal dibawah ini:

Pasal 43
(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
(2)  Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)   Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
(5)  Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

Pasal 44
Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 



D.    Analisis Dampak Konflik Jangka Pendek dan Jangka panjang
  1. Konflik Jangka Pendek
-          Perpecahan Keluarga Wenda

Peristiwa pemberian gelar anak sulung dan mengatasnamakan marga wenda kepada Ir. Jhon Rande Manggota yang adalah orang asing dalam struktur hidup orang mbalik dan secara khusus marga wenda jelas-jelas mengaetkan seluruh pemilik marga wenda dimanapun mereka berada. Sekian banyak pertanyaan diajukan untuk mengkritik peristiwa itu seperti ada yang menanyakan dimana dusun Jhon Rande Manggota diwilayah baliem central, selain itu ada juga yang menanyakan atas ijin siap marga wenda diberikan kepadanya dan lebih jauhnya mereka menyakan apakah telah ada konsensu untuk menghadirkan orang asing dalam keluarga ?.

Selain pernyaan secara tegas para pemilik marga wenda menegaskan penolakan kepada pemberi marga dan juga penerima marga dan secara tegas mereka menyatakan penolakan total terhadap kehadiran Ir. Jhon Rande Manggota maupun siapa saja tanpa consensus berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik kepentinga sesaat.

Kenyataan ini telah menimbulkan konflik structural baru dalam tatan sosial budaya orang mbalim dan khususnya keluarga marga wenda, kenyataan itu jika dibiarkan tanpa akan menimbulkan penghancuran struktur budaya masyarakat adat papua yang merupakan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua yang dilindungi secara legal. 



-          Definis Anak Sulung Bagi Orang Mbalim
 
Bagi orang mbalim khususnya orang orang wenda anak sulung adalah seuatu yang sacral dan merupakan penghormatan budaya “segala kekuatan dan kegagahan seorang bapak/ayah dan ibu, terletak pada anak tertua dan mandate ini dilarang keras untuk diberikan kepada siapapun selain anak sulung. Anak sulung tidak dapat diterjemahkan dalam konteks perjuangan politik praktis (partai), perjuangan DOB dan perjuangan lainnya. Anak sulung adalah mandate budaya, mandate regenerasi sepanjang sejarah peradaban orang balim, mandate sacral dari keluarga wenda, dan semua keluarga diwilayah adat la pago secara khusus dan wilayah adat papua secara umum. Oleh karena itu maka kami menentang warisan sejarah budaya kami yang adalah bagian dari kepribadian kami diobok-obok oleh segelintir orang (Agus Wenda) dengan mengatasnamakan politik perjuangan pemekaran daerah Operasi Baru (DOB) yang berdampak pada penempatan Hak Kesulungan kami pada arus politik yang kotor.  

-          Definisi Dumma atau Big Man bagi Orang Mbalim

Dalam kebudayaan orang mbalim “Dumma atau Big Man” hanya untuk orang mbalim dan tidak pernah diperuntukan untuk orang asing. Anak adobsi juga tidak memiliki hak untuk menyandang gelar tersebut.

-          Konflik Sistim Noken

Penegasan agus wenda tentang 56.000 suara dari 10 distrik suara hanya untuk Jhon Rande Manggotan yang akan diberikan dengan cara suara ikat dalam noken untuk kandidat yang dijagokannya, secara jelas-jelas akan melanggar Pasal 43 ayat (1) : setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang berlangsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Selain pelanggran Hak Politik diatas, jika pada Pemilu 2014 nanti sistim noken yang digunakan maka secara otomatis akan melahirkan konflik baru yang dapat merebak pada segala sector, seperti :
o   Antara pendukung masing-masing calon legislatif DPR RI karena dari wilayah yang sama selain Jhon yang calonkan diri ada juga calon putra daerah lainnya, seperti Paskalis kosay, Penesina Kogoya, Alex Hesegem, Agustina Basikbasik, Wilem Wandik, dan Ismail Asso;
o   Antara caleng dan big man,
o   antara tim sukses Daerah Otonom Baru,
o   antara PPD, PPS, KPPS, Kepala Kampung, Kepala Distrik, Pemerintah daerah dan KPUD dalam proses perebutan suara.  


  

  1. Konflik Jangka Panjang
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal utama yang inti persoalan yang akan memicu terjadinya konflik yang berkepanjangan, diantaranya : “1). klaim pemberian marga dan 2). pemberian penghargaan anak sulung, dan 3). kalim pemberian suara mengunakan sistim noken.

Tiga hal tersebut secara hukum merupakan tindakan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi masyarakat Adat Papua sehingga tidak segerah diantisipasi sebelum memasuki tanggal 9 April 2014 maka secara jelas akan berdampak pada konflik yang berkepanjangan dan akan merambat ke semua aspek.

Sebagai anak pemilik magra wenda dan juga sebagai anak adat la pago yang juga sebagai anak adat papua secara tegas menyatakan bahwasannya tiga hal pokok diatas itulah yang telah mengganggu tatanan keluarga wenda secara khusus dan telah memancing kemarahan anak adat la pago serta semua intelektua papua yang sedang mengikuti dinamika proses politik yang menggangu dan menodai warisan Budaya orang Papua yang merupakan bagian dari pada Hak Asasi Masyarakat Adat Papua.

Jika pada tanggal 9 April 2014 akan pemilu tetap dijalankan tanpa membenahi pelanggaran-pelanggaran hukum dan hak Asasi Masyarakat Adat diatas maka secara tegas dapat disimpulkan bahwasannya negara Indonesia hanya menjadi symbol Bineka Tuggal Ika hanyalah slogan belaka karena dalam prakteknya tidak ada penghargaan sama sekali, selain walapun perlindungan Hak Asasi Masyarakat Adat telah dijamin dalam Konstitusi dan juga secara khusus didalam UU Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi Khusus Papua namun implementasinya tidak ada penghargaan apapun. Memang dalam konteks Kepala Daerah sudah diakomodir namun itupun hanya sebatas kepala daerah dan dapat disimpulkan baru satu belum semuanya jadi kesimpulannya belum ada perlindungan apapuan yang diberikan negara Indonesia terhadap Hak Asasi masyarakat Adat papua.

Pemilu sebagai perwujudan demokrasi dalam negara Indonesia yang didalamnya tidak menghiraukan Hak Asasi masusia (Hak Politik yaitu pilih dipilih dan pilihan bebas) serta sarat akan pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat Papua yang ditandai dengan penerapan sistim noken dalam setiap pemilu ditanah papua telah menjadi pemicu konflik tersukses di Indonesia, pertanyaannya mengapa dalam Pemilu 2014 masih saja diberlakukan ?, bukankah Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi masyarakat Adat di dunia telah disahkan oleh Perserikatan bangsa bangsa (PBB) dan telah dibawah oleh Aliansi masyarakat Adat Nusantara ke Indonesia dan telah membuat nota kesepahaman antara AMAN dan KOMNAS HAM untuk mensosialisasinya dan juga menyelamatkan Hak Asasi Masyarakat Adat dari keserahkan sistim pemerintahan yang sarat akan KKN dan juga telah bersahabat mesrah dengan Investor baik di tingkat Pusat maupun di daerah.

Berdasarkan kenyataan dalam semua implementasi pemilu semuannya menua konflik yang berkepanjangan dan didalamnya sarat akan pelanggaran Hak Asasi masyarakat Adat Papua seperti 3 hal yang disebutkan diatas, melalui kenyataan dan pertanyaan diatas maka dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia sedang mengajarkan pendidikan politik dan demokrasi yang keluru kepada seluruh masyarakat adat papua diatas kenyataan dimana negara Indonesia secara sistemik sedang melakukan pelanggaran Hak Asasi manusia dan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua telah yang dijamin dalam peraturan perundang undangan yang berlaku didalam negara Hukum Indonesia dalam Pemiluhan Umum 2014. 

 

E.     Penutupan

Dari uraian panjang lebar diatas kami Solidaritas Anak Adat Mahasiswa Papua Se-Jawa-Bali dan tanah Papua dan Keluarga Pemilik Marga Wenda secara terpisah ingin menyampaikan tuntutan kepada Pihak-pihak yang bersangkutan, diantaranya :

1.      Solidaritas Anak Adat mahasiswa Papua Se-jawa-Bali dan tanah Papua
a.  Negara Indonesia wajib menghargai, melindungi, dan menghormati Hak Asasi masyarakat Adat Papua, khususnya dibidang budaya yang telah dihancurkan secara sistematis selama 51 Tahun dengan pendekatan kurikulum (Pendidikan) yang dirumuskan dari Jakarta dan dalam prakteknya melarang digunakanannya Bahasa Asli dan menghafal bahasa Indonesia;
b.  Saudara/I dari wilayah lain di Indonesia jangan memanfaatkan kesederhanaan Masyarakat Adat Papua sebagai batu loncatan untuk menguasai semua Hak Milik Masyarakat Adat Papua dan dihimbau kepada warga non Papua di seluruh wilayah papua untuk menghargai hak-hak dasar Masyarakat Adat Papua;
c.    Ditegaskan kepada Orang Non Pribumi papua yang telah menguasai sector ekonomi untuk jangan lagi menguasai budaya yang adalah jati diri kami orang papua untuk dieksploitasikan demi kepentingan penguasaan sekor politik;
d.    Sudah saatnya Orang Papua menjadi Tuan dalam bidang politik praktis di era Otonomi Khusus maka orang non pribumi papua wajib memberikan kesempatan bagi kepada Masyarakat Adat Papua untuk menduduki Parlemen Papua dan Mewakili Wilayah Papua di Perlemen Republik Indonesia;
e.  KPU, Panwas, Komnas HAM RI segerah menindaklanjuti Tindakan Pelanggaran Hak Asasi masyarakat Adat Papua Khususnya Hak Warisan Budaya dan Hak Identitas Marga Wenda yang dilecehkan pada Masa kampanye oleh Ir. John Rende Mangontan Caleg DPR RI Dapil Papua Nomor Urut 6 dari Partai Nasonal Demokrasi (NasDem) karena hal marga merupkan jatidiri yang merupakan satu-satunya kekayaan yang melekat pada diri setiap anak adat Papua;
f.       Kami dengan tegas menolak penerapan sistim noken diseluruh wilayah papua karena akan melanggar hak politik individu dan selanjutnya diusulkan untuk mengunakan sistim satu orang satu suara dan pilihan bebas sesuai hati nurani tanpa pembatasan sebagai bentuk penghargaan dan pembangunan demokrasi;
g.  Mendesak KPU Pusat, Panwaslu, Penegak Hukum untuk menegaskan kepada Caleg untuk mengedepankan norma hukum dan demokrasi dalam pemilu 2014 dan jangan mengadubomba masyarakat agar tidak terjadi konflik yang mengakibatkan korban;
h.     Dihimbau Kepada semua pemangku kepentingan dalam pemilu 2014 untuk jangan mempolitisir atau memanipulasi hak Identitas (Marga) Masyarakat Adat Papua dalam Pemilu 2014 diseluruh tanah papua;
i.     Komnas HAM Republik Indonesia segerah mendesak Negara Indonesia Untuk meratifikasi Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Adat untuk melindungi Hak Asasi Masyarakat Adat di Indonesia secara Umum dan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua secara khusus.

2.      Keluarga Pemilik Marga Wenda
a)    Dihimbau kepada Ir. John Rende mangonda secara berbudaya dan terhormat segerah mengembalik marga Wenda dan hak kesulungan kepada pemilik Marga asli (Wenda);
b)    Kami menolak saudar/I yang mengatasnakan tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh agama, dan tokoh pemuda yang telah menjual hak kesulungan dan marga yang dimiliki, karena marga Wenda bukan milik orang balik senter saja tetapi semua wilayah di Pegunungan yang memiliki marga wenda dirugikan karena pemberian yang dilakukan diluar prosedur adat;
c)  Dihimbau kepada Penerima marga agar pengembalian itu dilakukan secara umum melalui “Media masa Lokal dan nasional”;
d) Mendesak agar Komnas HAM RI, KPU, PANWAS untuk mendesak Partai NasDem untuk melakukan dua tuntutan pada poin (a) dan (c)
e)   Mendesak seluruh Parpol agar tidak masuk dalam wilayah adat khususnya diwilayah Mbaliem meliputi 10 Kabupaten di wilayah adat La Pago (Penungan Bintang, Yahukimo, Yalimo, Mamteng, Tolikara, Lanny Jaya, Jayawijaya, Nduga, Puncak Papua, dan Puncak Papua) dan tidak memanfaatkan adat sebagai sarana untuk kepentingan politik dalam Pemilihan Umum didaerah.

Jika laporan dan tuntutan kami tidak ditindak lanjuti maka kami Solidaritas Anak Adat Mahasiswa Se Jawa Bali dan Tanah Papua dan Keluarga Pemilik Magra Wenda akan : 
  1. Menyerukan Kepada Seluruh Masyarakata Adat Papua untuk Boikot Pemilu 2014 Yang jelas-jelas telah melanggara Hak Asasi Masyarakat Adat Papua dan
  2. Menuntut Negara Indonesia Karena Telah Membuat Sistim Pemiluhan Umum yang jelas-jelas menggorbankan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua. 
Demikian uraian ini dibuat semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya, demi penghargaan terhadap Demokrasi dan Penghormatan terhadap Hak Asasi manusia dan Hak Asasi Masyarakat Adat Papua.