Setiap
manusia dilahirkan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan
kehendaknya masing-masing. Lahirnya konsep negara berdasarkan usia terbilang baru
karena konsep negara lahir dari hasil karya idelisme manusia yang berkembang
dari jaman primitif dan mendapatkan bentuk kesempurnaannya dalam alam pikiran
filsuf-filsuf yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles pada jaman
feodalisme sehingga usia hak untuk hidup yang melekat pada diri setiap manusia
sangat tua. Walaupun demikian penghargaan terhadap hak untuk hidup masih
sanggat memprihatinkan, para filsuf diatas sangat merasakan dampak itu karena
idealisme brilian itu mengakhiri hak untuk hidup mereka diujung tiang gantung,
kelaparan, dan ditempat pengasingan (pembuangan) oleh penguasa pada masa itu.
Situasi
yang sama masih terus terjadi sampai sekarang, lahirnya beberapa prodak hukum ditingkat
internasional dalam bentuk Deklarasi Internasional, dan Kovenan Internasional
secara materi formil telah mencantumkan perlindungan terhadap HAM terlebih
khususnya hak untuk hidup, namun implementasinya tidak mampu menjamin hak untuk
hidup manusia secara maksimal.
Indonesia
adalah salah satu negara anggota PBB dan telah meratifikasi Deklarasi dan Kovenan
seperti tercermin dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang SIPOL, dan
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional
Tentang EKOSOB.
Jauh
sebelum lahirnya beberapa prodak Undang-Undang dan bahkan sebelum lahirnya
prodak hukum internasional diatas, UUD 1945 yang lahir beberapa hari setelah
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 secara materil telah memperlihatkan
adanya perlindungan terhadap Hak Untuk Hidup namun menjurus pada kesetaraan
antara sesama manusia dalam hal memperoleh pekerjaan dan upah untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari selayaknya manusia normal, seperti yang tersirat pada
pasal 27 ayat 2 : tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.[1]
Era
reformasi memberikan ruang bagi penyempurnaan UUD 1945 sebanyak IV kali proses
amandemen terhadap Lex Generali Indonesia sehingga secara materil perlindungan
terhadap hak hidup telah mendapat tempat luas, dan detail termuat dalam Bab XA
Tentang Hak Asasi Manusia, dan dalam pasal 28 A – J dengan demikian penghargaan
terhadap Hak Hidup menjadi suatu Hak Konstitusi di Negara Indonesia yang wajib
dihargai oleh siapapun dan istitusi manapun (termasuk negara). Selama 19 Tahun sejak
reformasi 1998 faktanya banyak kasus pelanggaran terhadap hak konstitusi warga
negara yang terjadi, lahirnya beberapa Undang Undang diatas sebagai aturan
pelaksana UUD 1945 juga tidak mampu membendung kasus pelanggaran itu.
Secara
umum uraian pelanggaran terhadap Hak Konstitusi khususnya Hak Hidup dinegara
indonesia sangat banyak karena jumlah korbannya mencapai ribuan bahkan jutaan
ribu jiwa, berdasarkan sejarah pemerintahan-nya tergolong kedalam beberapa
fase, Fase Pertama yaitu pelanggaran
terhadap Hak Konstitusi pada masa Orde Lama, dan Orde Baru, dan Fase Kedua yaitu pelanggaran Hak
Konstitusi pada masa Reformasi. Para pelakunya juga terbagi dalam 2 (dua)
kelompok besar yaitu; pertama Aparat Keamanan, dan kedua Masyarakat Sipil
melalui media konflik horisontal, dan konflik vertikal, serta tindakan
kekerasan yang dilakukan perorangan (keamanan/rakyat).
Pelanggaran
terhadap hak konstitusi banyak dilakukan oleh aparat keamanan karena setiap resim selalu mengedepankan tindakan
represif dengan pendekatan militeristik seperti korban kasus Pemusnahan PKI,
Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi I dan II, Penembakan Misterus (Petrus),
Mati Misterus (Matius), Penerapan Satus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh
dan Papua, Sengketa Lahan antara Negara dan Rakyat, dan lain sebagainya yang
masih terjadi sampai sekarang sehingga menciptakan citra buruk bagi aparat
keamanan di negara indonesia yang adalah pelindung masyarakat indonesia berubah
menjadi Aparat Keamanan Pembunuh Rakyat Indonesia yang komprador. Pelanggaran
hak konstitusi yang dilakukan oleh Masyarakat Sipil terlihat dalam beberapa
kasus seperti Konflik Cina dan Jawa, Madura, Poso, Ambon, Pilkada, Sengketa
Lahan antar warga, Tawuran Pelajar/Mahasiswa, dan lain sebagainya.
Berdasarkan
pengelompokan, dan latarbelakang pelaku secara otomatis akan membedakan lembaga
peradilan yang berwenang mengadilinya, apabila pelakunya adalah masyarakat
sipil dan polisi maka proses peradilannya di pengadilan Negeri, sedangkan
apabila pelakunya adalah Aparat Keamanan (Militer) maka proses peradilannya di
Pengadilan Militer. Terkait kepolisian dan beberapa lembaga penegak hukum
lainnya juga memiliki Dewan Kehormatan sehingga apabila dilakukan oleh penegak
hukum (Hakim, Jaksa, dan Polisi) maka langsung akan ditangani oleh Dewan
Kehormatan, sehingga para pelaku pelanggaran Hak Hidup oleh penegak hukum
terkadang dilindungi karena setiap keputusan Dewan Kehormatan terkesan menjurus
pada perlindungan korps-nya masing-masing, hal itu mungkin disebabkan karena ketentuannya
dibuat dan disahkan oleh lembaga penegak hukum itu sendiri tanpa melibatkan
pihak lain.
Para
pelaku pelanggaran Hak Konstitusi dari masyarakat sipil sudah banyak yang
diadili di Pengadilan Negeri dan dijebloskan ke Lembaga Permasyarakatan (LP) sebagai
ganjarannya seperti Para pelaku tindak pidana kriminal (pembunuhan), bahkan
adapula yang telah dihukum mati seperti Amrosi Cs, Tibo Cs, Dr Ashari, Nurdin M
Top, dan lain-lain. Namun yang masih menimbulkan pertanyaan adalah mengapa para
pelaku pelanggaran Hak Konstitusi oleh Aparat Keamanan tidak mendapatkan hal
yang sama, padahal kategori perbuatannya sama yaitu melakukan pembunuhan atau
pencabutan hak konstitusi dari seseorang yang adalah pemilik sah atas hak itu
yang keberadaannya tidak dapat diganggugugat atau bahkan dicabut oleh negara
sekalipun. Berdasarkan hasil keputusan yang sering dikeluarkan oleh Pengadilan
Militer dan Dewan Kehormatan Penegak Hukum (Polisi) tercatat lebih melindungi
nama baik korpsnya tanpa melihat secara objektif perbuatan yang dilakukan oleh
anggotanya sehingga terkesan adanya pemeliharaan terhadap pelaku pelanggaran
Hak Konstitusi yang dilakukan oleh Aparat Negara, sampai saat ini para pelaku
pelanggaran Hak Konstitusi bebas melakukan aktifitasnya seakan tidak memiliki
kesalahan apapuan, sebagai contohnya adalah Jenderal Besar Soeharto, Alm yang sampai
diliang lahap sekalipun tidak pernah dihukum sesuai dengan perbuatannya,
beberapa jenderal besar yang sekarang dilihat sebagai tokoh-tokoh nasional
indonesia, dan lain sebagainya.
Latar
belakang lahirnya pengadilan HAM dan Komas HAM beserta perangkat hukum
pendukungnya sebenarnya hanya untuk melindungi para pelaku pelanggaran HAM
Berat agar tidak diadili oleh Lembaga Peradilan ditinggkat Internasional, sebab
jika sampai kesana maka secara objektif akan terbukti perbuatannya dan akan
diketahui bahwa para pelaku pelanggaran Hak Konstitusi di Negara Indonesia adalah
petingi-petingi Negara Indonesia itu sendiri sehingga dengan pertimbangan
menjaga pamor negara Indonesia dimata Internasional maka dibentuklah Pengadilan
HAM dan KOMNAS HAM.
Sejak
berdirinya kedua lembaga itu apakah sudah mampu melindungi Hak Konstitusi
setiap masyarakat indonesia atau bahkan mengurangi kasus pelanggaran terhadap
Hak Konstitusi ?, sekalipun pada era reformasi yang terkesan baik dan terbuka
karena asas keterbukaan yang dipraktekan pada segala bidang dan istitusi sehingga
ruang-ruang demokrasi terbuka lebar, penghargaan terhadap HAM dijunjung tinggi,
dan meletakkan hukum sebagai jenderal dalam rutinitasnya juga masih terlihat
banyak sekali kasus pelanggaran Hak Konstitusi yang terjadi. Disamping itu
penegakkan HAM oleh lembaga Peradilan HAM dan KOMNAS HAM masih terhambat oleh
sistim hukum dan kepentingan Politik Partai dinegara ini, perhatikan berkas-berkas Acara Kasus
Pelanggaran HAM Berat yang sampai saat ini masih berada ditanggan DPR-RI seakan
legislatif memiliki peran ganda dimana sebagai legislator, dan dalam kasus
Pelanggaran HAM Berat bertindak sebagai Penyidik.
Kondisi
umum penegakkan Hak Konstitusi dinegara indonesia masih sanggat memprihatinkan,
walaupun telah banyak aturan hukum dan lembaga hukum pendukungnya dibentuk
dimana-mana dan disetiap bidang serta dilengkapi dengan tenaga profesional yang
kualitasnya sangat baik. Jika demikian kenyataannya maka dapat disimpulkan
bahwa kehadiran aturan hukum dan lembaga pendukungnya hanya untuk merugikan
dana negara yang adalah milik rakyat indonesia, sedangkan tenaga profesionalnya
terbukti berkarakter intelektual tukang yang tidak bertaring sehingga
keberadaannya juga hanya untuk mengeruk dana rakyat secara sistematis karena
tidak mampu melindungi Hak Konstitusi (hak hidup) setiap warga negara Indonesia
yang telah dijamin dalam UUD 1945.
Secara
pribadi saya sanggat sependapat dengan pendapat Artejo Alkostra bahwa Negara
Ini Tanpa Hukum, dan pendapat Mahfud,
MD bahwa Hukum adalah Prodak Politik.
Kedua pandangan itu secara detail menunjukan kondisi hukum dan penegakkannya dinegara
indonesia, sehingga untuk melindungi Hak Konstitusi warga negara yang dikebiri
oleh Aparat Keamanan dan demi penegakkan hukum dan HAM di negara indonesia,
serta menciptakan iklim penghargaan terhadap HAM dan Hak Kostitusi maka khusus
bagi kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat sebaiknya diadili diluar negeri dengan
mengunakan perangkat hukum internasional.
Pekerja Hukum Pribumi Papua
“Kritikkanmu
adalah Pelitaku”