Sabtu, 02 Juli 2016

MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN RUANG DEMOKRASI DARI ANCAMAN REPRESIFITAS DI YOGYAKARTA

MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN 
RUANG DEMOKRASI DARI ANCAMAN REPRESIFITAS 
DI YOGYAKARTA


Kodisi Ruang Demokrasi Di Yogyakarta Dan Papua

Tahun 2016 memberikan catatan merah bagi ruang demokrasi dan meningkatnya tindakan kekerasan dimana dengan mengunakan berbagai isu seperti rasisme, anti LGBT, KBB, Anti Komunis dan alasan moralitas lainnya. Semua isu itu dapat terlihat melalui rentetan kasus pembungkaman ruang demokrasi dan siar kebencian yang dilakukan oleh beberapa pihak didaerah istimewah yogyakarta. Untuk menunjukan situasi pembungkaman ruang demokrasi dan siar kebencian yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu selama ini akan disebutkan berdasarkan hasil pantauan, sebagai berikut :

1.        Tindakan siar kebencian dan rasisme dilakukan saat Deklarasi FJAS di halaman Gedung DPRD yang diwarnai dengan peristiwa pencatutan nama beberapa organisasi hingga ancaman pengusiran mahasiswa papua dari yogyakarta. Selanjutnya disusul dengan (Desember 2015)
2.        tindakan siar kebencian dan tindakan penyegelan Pondok Pesantren Al Fatah (Ponpes Waria) oleh FJI degan tuduhan membuat fiqiq waria (februari 2016)
3.        tindakan siar kebencian dan pelanggaran HAM yang dilakukan saat Deklarasi anti LGBT di nol kilometer oleh FUI yang diprotes dengan aksi dari Solidaritas Perjuangan Demokrasi di MD (Maret 2016).
4.        Tindakan siar kebencian dan pengusakan dan penganiayaan saat pembubaran acara festifal leidy fast yang diselenggarakan oleh kolektif betina di tempat komunitas seniman survive  yang dibubarkan oleh Kokam dan FUI dengan alasan perijinan dan
5.        Tindakan intimidasi terhadap kebebasan kegiatan ilmiah disusul dengan pembatasan diskusi dan nonton video dokumenter tentang pulau buruh tanah air beta di kampus UGM yang diintimidasi oleh FKPPI dengan cara mendatangi UGM serta
6.        Tindakan Pembubaran Diskusi dan Nonton Bareng Video Dokumenter Tentang Pulau Buruh Tanah Air Beta pada hari  perss sedunia yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta oleh Polresta Yogyakarta bekerjasama dengan FKPPI dan FAKI.
7.        Tindakan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan dan Penyitaan serta Pengeledahan terhadap buku bertema komunis pada beberapa Penerbit oleh TNI (Mei 2016)
8.        Tindakan Teror yang dilakukan Polresta Yogyakarta dengan cara mendatangi asrama mahasiswa papua dengan kekuatan penun mengunakan seragam lengkap dengan laras panjang saat perayaan kematian arnold ap (April 2016)
9.        Tindakan Penganiayaan dan Pengeroyokan Terhadap Mahasiswa dan Pengrusakan Asrama Mahasiswa Gorontalo setelah aksi Gerakan Nasional Pendidikan (April 2016)
10.    Tindakan intimidasi dan percobaan pembungkaman ruang demokrasi dalam aksi hari pendidikan oleh aktivis mahasiswa di sepanjang jalan Malioboro oleh aparat polresta yogyakarta dan
11.    Tindakan intimidasi dan percobaan pembungkaman ruang demokrasi saat aksi perayaan aneksasi oleh mahasiswa papua pada (Mei 2016).  

Semua peristiwa diatas dapat disimpulkan kedalam peristiwa pembungkaman ruang demokrasi di DIY dan masuk dalam kategori pelanggaran hukum dan HAM, namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa aparat kemanan tidak menahan dan menindak tegas para pelaku pembungkaman ruang demokrasi diatas. Melihat sikap aparat keamanan yang tidak menindak dan pada kasus-kasus tertentu diatas bertindak sebagai pelaku aktif diatas tentunya menjadi sebuah keresahan bersama seluruh masyarakat sipil yogyakarta tanpa terkecuali. Ditengah situasi itu apakah kita harus diam namun pada kenyataan benih-benih kebencian mengunakan isu-isu terus berkembang merasuki pikiran masyarakat ?, sebagai masyarakat sipil yang mengharagai HAM dan demokrasi tentunya akan melakukan tindakan yang bertujuan untuk menyelamatkan ruang demokrasi yang adalah milik semua pihak.

Berdasarkan padangan diatas sehingga pada tanggal 21 Mei 2016 gabungan organisasi pro demokrasi yang berdomisili di Yogyakarta menyelenggarakan perayaan memperingati 18 tahun reformasi dengan tema umum yaitu berikan pengelolaan pengolahan sumber daya alam kepada rakyat, lawan militerisme dan buka ruang demokrasi seluas-luasnya di dua tempat yang berbeda, diantaranya di tugu jogja hingga nol kilo meter dan didepan kampus UIN Jalan Solo Yogyakarta. Meskipun akasi penyelamatan ruang demokrasi dilakukan pada bulan mei namun peristiwa pelanggaran ruang demokrasi terus terjadi sebagaimana yang terjadi pembubaran pengledahan dan penyitaan IAM Art oleh Ormas Kalimasodo berkerja sama dengan Polsek Kraton serta pengerahan pasukan polresta yogyakarta dan brimob lengakap dengan laras panjang pada akasi AMP di depan Asrama Mahasiswa Papua pada tanggal 30 Mei 2016.

Sementara itu di papua, penangkapan dan pembungkaman terhadap ruang-ruang demokrasi di ruang publik dan ruang akademik yang dilakukan aparat gabungan dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan terakhir (April-Juni 2016) di papua, sebagaimana terlihat dalam data berikut  :
  • Penangkapan terhadap 54 Aktivis KNPB, Mahasiswa dan Rakyat Papua pada tanggal 28-30 April 2016, saat membagi-bagikan selebaran seruan aksi damai di Jayapura, Abepura, Sentani dan Yahukimo.
  • Penangkapan terhadap 13 Mahasiswa Uncen saat menggelar aksi damai menuntut pemerataan biaya pendidikan dan UKT di lingkungan kampus, pada tanggal 27 April 2016 di Abepura.
  • Penangkapan masal terhadap 2000an lebih Aktivis, Mahasiswa dan rakyat Papua pada tanggal 02 Mei 2016 saat menggelar aksi damai di beberapa kota dan kabupaten di tanah Papua.
  • Penangkapan Terhadap 75 Aktivis, Mahasiswa dan rakyat Papua, saat membagikan selebaran seruan aksi di beberapa kota di Papua, pada tanggal 28-30 Mei 2016.
  • Penangkapan terhadap 597 orang massa aksi dan aktivis KNPB saat menggelar aksi damai pada tanggal 31 Mei 2016, dan 7 orang mahasiswa Papua di Menado, Sulawesi Utara saat menggelar aksi yang sama.
  • Menjelang aksi damai yang akan digelar oleh rakyat Papua bersama KNPB pada tanggal 15 Juni 2016, penangkapan kembali dilakukan oleh aparat, setidaknya sejak tanggal 10 hingga 13 Juni, dilaporkan sebanyak 99 orang aktivis, mahasiswa dan rakyat Papua ditangkap hanya karena membagi-bagikan selebaran akasi di beberapa tempat di Papua.

Tidak hanya melakukan tindakan represif, penangkapan sewenang-wenang dan pembungkaman ruang-ruang demokrasi bagi rakyat Papua, Guna menghindari dugaan pelanggaran HAM, militer mulai menghidupkan milisi-milisi reaksioner yang dibackup langsung oleh militer, seperti : BARA NKRI, Barisan Merah Putih (BMP), Pemuda Pancasila dan berbagai ormas lainnya, yang mayoritas massanya adalah orang non Papua, guna melakukan perlawanan terhadap  aksi-aksi damai yang digelar oleh rakyat Papua, yang mengarah pada terjadinya konflik antara sipil dan sipil (pribumi dan pendatang) di Papua. Penculikan, penganiayaan dan bahkan pembunuhan misterius terhadap orang asli Papua semakin marak terjadi, di berbagai kota di Papua. Di Jayapura saja, dilaporkan hampir setiap hari ditemukan 4-5 jenasah orang asli Papua di ruang jenasah RSUD Jayapua, dengan luka-luka yang rata-rata hampir sama.
Kedua fakta ruang demokrasi dan pelanggaran hukum yang terjadi di Yogyakarta dan Papua telah memapu menunjukan wajah demokrasi dan penegakan hukum di negara indonesia. Dengan peristiwa yang setiap saat terus terja tentunya melahirkan kehawatiran publik sehingga tidak salah jika masyarakat sipil dimanapun mengambil sikap untuk memperjuangkan HAM dan Demorasi yang menjadi haknya. Berdasarkan pada koteks itulah sehingga aksi-aksi yang dilakukan dalam rangka itu mengunakan sis-isu yang terlahir dari rahim demokrasi yang diakui secara internasional dan nasional indonesia sudah sepatutnya di pandang sebagai gerakan demokrasi yang ideal.

Perjuangan Prodem Di Yogyakarta Dan Kronologis Aksi 16 Juni 2016

Situasi yang terjadi di Yogyakarta dan Papua diatas itu terus membuat geram komunitas prodemokrasi dan masyarakat sipil yogyakarta sehingga mereka berkomitmen untuk melakukan aksi secara bersama-sama dalam dalam konteks meneguhkan HAM dan Demokrasi baik di Yogyakarta maupun di Papua. Selanjutnya disepakati agar aksinya akan diwadahi oleh Gerakan Rakyat Papua Bersatu dan akan dilaksanakan pada tanggal 16 April 2016. Aksi itu mengangkat tema pokok yaitu mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi papua, dimana tema itu disepakati oleh seluruh organisai pro demokrasi yang terlibat didalamnya. Meskipun aksi itu mengangkat tema tentang papua namun yang penting untuk digaris bawahi adalah aksi ini juga bertujuan untuk menguji apakah ruang demokrasi di DIY.

Aksi tanggal 16 Juni 2016 dilakukan dengan cara sesuai dengan mekanisme berdemokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dimana Penanggungjawab Aksi Atas Nama Nduggi Kossai sendiri yang mengantarkan Surat Pemberitahuan tertanggal 12 Juni 2016  dan dijawab oleh Intelkam Polesta Yogyakarta dengan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan Nomor : STTP/31/VI/2016/Intelkam tertanggal 14 Juni 2016. Meskipun surat pemberitahuan diterima dan STTP telah dikeluarkan, namun pada tanggal 15 Juni 2016 sore, Kapolresta, Kabag OPS Polda DIY, Kabag OPS Polresta Yogyakarta, Kasat Intelkam dan Beberapa intel datang ke asrama mahasiswa papua dan mengatakan bahwa aksi besok dapat dilaksanakan dengan aman terkendali dan katanya pihak kepolisian siap mengamankan.

Walaupun kapolresta yogyakarta dan Kabag OPS Polda DIY telah mengatakan demikian, namun pada tanggal 16 Juni 2016 Kabab OPS Polresta dan pasukannya dari Unit Sbahara Polresta DIY beserta anggota Brimob baik mengunakan Truk maupun Motor lengkap mengunakan senjata datang ke depan asrama mahasiswa papua.
Saat Masa Aksi GRPB Menyiapkan Barisan Untuk Melanjutkan Akasinya
Walaupun demikian kondisi depan asrama mahasiswa papua namun masa aksi yang tergabung dalam GRPB yang telah menyiapkan diri dan perangkat aksi mulai merapikan barisan untuk melanjutkan aksi long marc dari asrmana mahasiswa papua ke nol kilo meter. Sementara masa aksi keluar, tim negosiator dari LBH Yogyakarta bersama-sama dengan perwakilan masa aksi menemui Kabag OPS Polresta Yogyakarta dan menyampaikan kesiapan masa aksi untuk memulai aksinya sehingga harapnnya Kabag OPS bisa mengarahkan pasukannya untuk mengamankan jalanan agar proses penyampaian pendapat bisa terlaksana sesuai dengan pemberitahuan yang diberikan.

Saat Negosiator dari LBH Yogyakarta Bernegosiasi dengan Kabag OPS Polresta Yogyakarta
Kabag OPS Polresta Yogyakarta dengan tegas mengatakan bahwa pihaknya hanya memberikan ijin kepada GRPB untuk melakukan aksi hanya didepan asrama mahasiswa papua, sesuai dengan STTP yang dikeluarkan Kasat Intelkan Polresta Yogyakarta, katanya. Negositor dari LBH Yogyakarta kemudian mempertanyakan dasar hukum pembatasan itu dan alasannya. Kabag OPS Polresta Yogyakarta mengatakan bahwa itu kebijakan Polresta Yogyakarta dan alasannya karena mayoritas umat muslim sedang puasa sehingga hawatir menganggu aktifitas puasanya. Ketrangan itu dibantah negosiator dengan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum ditegaskan bahwa setiap kelompok yang akan melakukan aksi wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepad pihak yang berwenang, dimana dalam surat pemberitahuannya dijelaskan secara detail terkait tema aksi, bentuk akasi,  jumlah masa aksi, rute aksi, dan lain sebagainya. Selanjutnya kewajiban pihak kepolisan adalah menerbitkan STTP sesuai dengan surat pemberitahuan yang diberikan oleh pihak yang akan melakukan aksi. Menyangkut puasa adalah bagian dari tolerasansi sevagai umat beragama dimana hal itu tidak diatur secara jelas dalam hukum. Berdasarkan dua penjelasan itu LBH Yogyakarta menyatakan dengan tegas agar pihak kepolisian resort kota yogyakarta melalui Kabag OPS dilarang membatasi aksi GRPB sebab jika Polresta Yogyakarta terus menghambat maka secara jelas dan terang-terang Polresta Yogyakarta melanggar Hak Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang dimiliki oleh masa akasi GRPB. Meskipun demikian Kabag OPS Polresta Yogyakarta terus menghambat dengan alasan hawatir akan ada ancaman dan menegaskan bahwa pihaknya hanya memberikan kesempatan kepada GRPB untuk melakukan aksi di depan asrama mahasiswa papua. Negosiator dari LBH Yogyakarta mempertanyakan ancaman yang dimaksudkan Kabag OPS Polresta Yogyakarta seperti apa dan dari pihak mana ?, namun Kabag OPS Polresta Yogyakarta tidak menjawab dan jsutru mengtakan bahwa dirinya tidak mengatakn ancaman. Padahal keterangannya didengar oleh semua pihak yang ada disitu termasuka anggota polisi lainnya. Negosiator menegaskan bahwa berdasarkan surat pemeberitahuan disebutkan bahwa akasi GRPB akan dilakukan secara damai sehingga jika ada ancaman sebagaimana yang dimaksudkan Kabag OPS Polresta Yogyakarta maka itu menjadi tugas pihak kepolisan untuk menahan dan menangkap pihak-pihak yang melakukan aksi yang bertujuan untuk mengancam aksi GRPB.
Selanjutnya masa aksi GRPB dengan pandangan bahwa aksi tanggal 16 Juni 2016 dilakukan mengunakan mekanisme UU Nomor  9 Tahun 1998 maka masa akasi GRPB terus merengsek ke jalanan untuk melakukan aksi long marc ke nol kilo meter sesuai dengan yang direncanakan dan yang telah disampaikan kepada pihak kepolisian. Situasi itu sempat disikapi oleh Kabag OPS beserta anggota polisi dari bagian sabhara dengan cara menghadang masa aksi GRPB sehingga kondisi jalan umum sempat macet bahkan ada sebuah bus trans jogja diarahkan untuk parkir di halaman hotel fave.


Saat Aparat Polresta Bagian Sabhara Menghadang Massa GRPB
Masa aksi terus merengsek masuk menutupi ruas jalan sebelah kiri dan mengambil barisan empat beresab kebelakang untuk melakukan long marc, tanpa disadari secara tegas Kabag OPS Polresta Yogyakarta memerintahkan seluruh anank buahnya membuka blokade didepan masa dan mengarahkan agar masa aksi GRPB melakukan aksis secara teratur hingga ke titik nol sesuai dengan surat pemberitahuannya.

Dalam perjalanan menunju titik nol masa akasi melakukan orasi-orasi politi oleh perwakilan organ yang terlibat dalam Aksi GRPB dan juga meneriaki yel-yel sesuai dengan kreatifitas kordinator lapangan dan dinamisator lapangan. Masa aksi GRPB juga mengambil jalan dibagian sebelah kiri dan memberikan jalan sebagian ruas jalan untuk penguna jalan lainnys sehingga kondisi aksi berjalan terkendala tanpa kemacetan apapun. Khusus pada bagian-bagian yang terdapat lampu merah dibantu oleh pihak kepolisan dari bagian satuan lalu lintas sehingga semuanya berjalan tanpa kemacetan apapun hingga di titik nol.

Saat dititk nol masa aksi mengambil posisi pada bagian tengah dan membentuk lingkaran sambil memberikan ruang bagi aktifitas kendaraan umum lainnya sehingga para penguna jalanm umum di kawasan nol kilometer berlalu lalang sebebas-bebasnya. Disana masa akasi melakukan orasi-orasi politik sesuai dengan pembacaan masing-masing pihak yang berorasi intinya tentang perampasan SDA Papua, tindakan militerisme indonesia terhadap bangsa papua dan mengusulkan penyelenggaran Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua sesuai dengan prinsip-prinsip yang dijamin dalam hukum internasional untuk mengakhiri konflik politik anatara indonesia dan bangsa papua yang telah menelan jutaan bahkan miliaran korban jiwa dan harta benda.

Pada saat masa aksi GRPB melakukan orasi-orasi, Kabag OPS Polresta Yogyakarta beserta anggotanya dari satuan sabhara kembali mendekati masa aksi dan berusaha mengambil poster aksi yang digunakan oleh masa aksi sehingga situasi aksi sedikit tidak kondusif, namun kondisi itu mampu diatasi oleh kedewasaan masa aksi dengan memilih akan mengamankan poster aksi yang memicu sikap arogan Kabag OPS Polresta Yogyakat.

Setelah Kabag OPS Polrest Yogyakarta Ingin Mengambil Poster Aksi
Selanjutnya masa aksi terus meneriaki yel-yel dan bahkan menyayikan lagu-lagu penyemangat aksi sehingga aksi berlagsung dengan meriah dan terkendali karena semua kendaraann juga berjalan dengan nayaman tanpa kemacetan.


Pasukan Brimob Polda DIY Yang disiagakan saat aksi GRPB

Setelah semua orasi dari perwakilan prodem selesai maka kordinator lapangan mengarahkan semua masa aksi untuk berdiri dan saling berpegang tangan karena akan dibacakan pernyataan sikap aksi GRPB. Selanjutnya kordinator umum akasi mebacakan pernyataan sikap, namun saat pernyataan sikap berlangsung Kabag OPS Polresta Yogyakarta beserta anankbuhnya mendekati masa aksi dan berusaha mendobrak masa aksi untuk masuk dengan alan ingin mengamankan poster.

Saat Penyataan Sikap Kabag OPS Polresta dan Anak Buahnya Mencoba Meprofokasi Aksi
Hal itu membuat kondisi yang tidak nyaman dan secara langsung menghentikan proses pernyataan sikap yang sedang dibacakan. Agar aksi tetap berjalan dengan kondusif sehingga masa aksi memberikan 2 (dua) buah Poster  kepada pihak kepolisian dan situasi kembali kondusif selanjutnya kordum kembali melanjutkan pembacaan pernyataan sikap dan selanjutnya aksi ditutup dengan doa. Berikut isi pernyataan sikapnya, Gerakan Rakyat Papua Bersatu [GRPB] Menuntut : “Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua”, Serta menyatakan sikap :
1.        Mengecam Tindakan Represif Aparat TNI-Polri, Terhadap Aktivis KNPB, Mahasiswa dan Rakyat Papua
2.        Dukung ULMWP Menjadi Anggota Penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG)
3.        Menolak Tim Pencari Fakta Buatan Jakarta Turun Ke Tanah Papua
4.        Tarik Militer Organik dan Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua
5.        Tutup Seluru Perusahaan Asing Yang Ada Diatas Tanah Papua
6.        Berikan Ruang Demokrasi Se Luas-luasnya Bagi Rakyat Papua
Yogyakarta, 16Juni 2016
Gerakan Rakyat Papua Bersatu
[GRPB]
Setelah pembacaan pernyataan sikap yang diwarnai dengan tindakan arogansi oleh Kabag OPS dan anggotanya, masa aksi GRPB melalukan long marc hingga ke asrama mahasiswa papua dengan teratur hingga ke asrama.

Masa Aksi GRPB, Kembali Ke Asrama Mahasiswa Papua

Meskipun aman dan teratur namun long marc ke asrama mendapatkan pengawalan oleh 4 (empat) buah truk polisi dan 2 (dua) mobil polisi serta beberapa anggota polisi mengunakan beberapa motor lengkap dengan laras panjang yang mengikuti dibelakang masa aksi sehingga kondisi itu sempat menganggu aktifitas kendaraan yang akan melintas nol kilo meter ke arah  timur, intinya hal itu berbeda dengan kondisi sebelumnya sebab sebelumnya tidak dikawal oleh anggota polisi.

Setiba di asrama makasiswa papua masa aksi GRPB yang tergabung dari berbagai organ prodem yang berdomisili di Yogyakarta itu, kemua beristirahat selama beberapa waktu dan selanjutnya bersolidaritas ke dalam aksi menolak keterlibatan freeport dalam acara art jog dan aksi 16-an untuk udin didepan gedung agung yogyakarta. Dimana kedua aksi itu juga berlangsung dengan aman, nyaman dan damai.


Aksi Untuk Wartawan Udin 16-an Perbulan

Aksi Aliasi Boikot ART JOG


Hati-Hati Dengan Media Sosial Profokatif Untuk Membangun Rasisme

Pemberitaan yang dilansir media online www.detak.co, berjudul Aksi Dukung Referendum di Jogja Disoal, www.redaksikota,com berjudul LSM DIY Sesalkan Aksi Aktivis Papua Barat yang Dianggap Gerakan Separatis, www.ayonews.com berjudul  Jangan Ganggu Yogya yang Ramah & Toleran, Aksi Dukung Referendum Papua Harus Ditindak Tegas  dan diteruskan oleh media online www.komnas-tpnpb.net  berjudul Forum LSM DIY Tolak Aksi Dukung Referendum Mahasiswa Papua di Yogya diragukan kebenarannya dan mesti dipertanyakan sebab pemberitaannya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi dan bahkan pilihan narasumbernya tidak jelas.

Setelah dikonfirmasi kepada ketua Forum LSM Yogyakarta ternyata beliau mengatakan bahwa Tutik Purwaningsih sudah tidak aktif lagi sebagai sekertaris Forum LSM Yogyakrta, menurut data yang diperoleh beliau menjabat sebagai sekertaris mendampingi benny susanto dimas periode tahun 2012 – 2015,[1] sementara kemomentraya diberikan pada tahun 2016 (dimana priode kepengusurannya sebagai sekertaris sudah melewati waktu). Selain itu salah satu narasumber lagi yang bernama Ahmad Zakaria dan organisasi FYD merupakan sebuah orang yang sampai saat ini tidak pernah tampil dalam gerakan perjuangan demorasi secara damia yang bisanya diperjuangkan oleh aktifi pro demokrasi di yogyakarta. Selanjutnya Viktor Nasition atau Viktor Wadan yang disebutkan mewakili LSM Untuk Papua secara diragukan keterangannya mewakilis siapa dan untuk apa.

Berdasarkan inti keterangan yang dilontarkan masing-masing pihak bermuatan rasisme dan tuduhan separatis sebab faktanya dalam pernyataan sikap dijelaskan sebagaimana dalam poin-poin pernyataan sikap diatas. Selanjutnya menyangkut tema Hak Menentukan Nasib Sendiri saja sudah berbeda secar definisi antara kedua kata tersebut dan juga unsur-unsur dari kedua katapun memiliki unsur yang berbeda. Selanjutnya pernyataan terkait ramah dan toleran yang ditujuak kepada GRPB dengan titik tekap pada papua secara langsung telah menunjukan pandangan rasisme dan melaluinya seakan melindungi sikap kelompok intoleran dan menuduh papua sebagai pihak yang tidak ramah dan tidak toleran.

Selanjutnya dengan penyebutan komando dan nakodai dengan beberapa inisial yang disebut itu sendiri terkesan berbeda dengan fakta yang ada, dimana dalam Surat Pemberitahuan dan Surat Tanda Terima Pemberitahuan disebutkan bahwa kordinator umum adalah Yiginua Kossai bukan seperti yang disebutkan dalam pemberitaan keempat media diatas sehingga terkait inisial yang yang disebutkan didalam media diatas merupakan fitnah dan masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Selain itu dari media yang disebutkan secara eksistensi berdasarkan pengakuan rekan-rekan wartawan bahwa eksistensinya tidak jelas dan wartawannya juga tidak jelas.

Berdasarkan pada keterangan diatas sudah dapat disimpulkan bahwa semua pernyataan diatas adalah penyataan yang tidak jelas dan tidak objektif serta sarat akan diskriminasi rasial dan fitnah sehingga sudah sepantasnya pemberitaan itu dikesampingkan saja demi perjuangan demokrasi yang masih panjang jalannya dan sangat berliku-liku. Selain itu dengan penyebutan inisial diatas secara jelas menunjukan siap aktor dibalik pemberitaan itu dan apa maksud dari pemberitaan tersebut dan melaluinya dapat disimpulkan bahwa media-media dimaksud adalah corong profokatif yang bertujuan untuk membungkam ruang demokrasi dan menciptakan konflik sosial di yogyakarta.

Kemenangan Dalam Pertarungan Demokrasi Di Yogyakarta

Berdasarkan realitas aksi masa tanggal 16 Juni 2016, dimana terlihat ada tiga aksi yang dilakukan pada tiga tempat dan waktu yang berbeda-beda dan isu yang berbeda pula di yogyakrta yang sukses dilakukan dengan damai dan terkendali itu menunjukan kemenangan kecil dalam sejarah perjuangan demokrasi dalam tahun 2016.

Situasi itu dan semagatnya perlu dipupuk dalam gerakan demokrasi sebab pengalaman sebelumnya telah menunjukan situasi pembungkaman ruang demokrasi yang riel secara sistematik dan struktural sebagaimana tercermin dalam isu-isu yang digembar-gemborkan oleh elit pusat seperti belah negara, prokxy war, dan diskriminasi sara.

Fakta pembungkaman kebebasan ekspresi dan ruang demokrasi di yogyakarta dan papua dalam rentan tahun 2016 membuktikan bentuk nyata represifitas yang dirancang secara ssitematik dan struktural dari pusat sampai daerah dengan bantuan milisi sipil reaksioner yang belum pernah dijamah oleh hukum. Selan itu dengan penciptaan kondisi sosial melalui pengrudukan oleh kelompok intoleran serta spanduk yang menanamkan nilai-nilai orba yang telah mencabut miliaran nyawa melalui isu anti komunis yang dipampam dibeberapa sudut kota di propinsi DIY juga mampu mengalang dukungan dari warga untuk mengambil langkah yang mengarah pada pencederaan nilai-nilai hukum dan HAM maka sudah saatnya masyarakat sipil yogyakarta bersatu untuk merawat kenyamanan bersama dan menghindari bujukan-bujukan dari pihak yang tidak bertanggungjawab dan menginginkan ketidaknyamanan melalui isu anti komunis, anti agama tertentu, anti pendatang, rasisime dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya akasi tanggal 16 Juli 2016 merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi di yogyakarta setelah aksi melaporkan Kompol Sigit Hariyadi atas tindak pembungkaman ruang demokrasi dan pelanggaran kode etik kepolian dalam membubarkan diskusi dan pemutaran video dokumenter tentang pulau buruh tanah air beta yang di kantor AJI Yogyakarta kepada Polda DY yang dihadang oleh ormas Intoleran di Markas Polda DIY (Mei 2016),[2] dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi setelah aksi menentang deklarasi anti LGBT yang dilakukan oleh ormas Intoleran yang dilakukan oleh Solidaritas Perjuangan Demokrasi (April 2016),[3] dan dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi setelah aksi menentang aksi Polisi dan Ormas yang membubarkan kegiatan Ledy Fast dan menyegel Survive Garage yang berujung pada perubahan perjanjian sewa menyewa rumah antara pegelola Survive Garage dan Pemilik Rumah (April 2016),[4] dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi dan hukum di yogyakarta setelah tindakan pelaporan atas tindakan siar kebencian yang dilakukan oleh FJI terhadap Ponpes Al Fatah kepada Polsek Banguntapan Bantul namun ditolak oleh Kepolisian Setempat (Februari 2016)[5] dan  merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi dan hukum di yogyakarta pelaporan atas tindakan rasisme dan siar kebencian yang dilakukan oleh kordinator umum FJAS kepada pihak Polda DIY (tanggal 10 Desember 2015),[6] dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi setelah aksi Fron Perjuangan Demokrasi mempertahankan ruang demokrasi dalam kampus untuk diskusi dan nonton bareng Film Senyap (Maret 2015),[7] dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi setelah aksi Mahasiswa Menolak Kenaikan Harga BBM dengan cara mempertahankan pertigaan revolusi (pertigaan timoho dan jalan solo) dari represifitas aparat (November 2014),[8] dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi setelah aksi Aliansi Mahasiswa Papua bertahan melawan tindakan pembungkaman ruang demokrasi dan kekerasan yang dilakukan oleh Faksi Katon (Juli 2014),[9] dan merupakan sebuah kemajuan dalam perjuangan demokrasi setelah aksi Makario mendeklarasikan Jogja Darurat Kekerasan (2013).[10]
Dengan demikian maka disimpulkan bahwa aksi tanggal 16 Juni 2016 yang dilakukan oleh organisasi pro demokrasi yang tergabung dalam GRPB adalah satu kesatuan dari perjuangan merebut ruang demokrasi yogyakarta dari virus militerisme yang sedang menjangkit aparat kemanan dan ormas tertentu di yogyakarta. Berdasarkan dengan itu secara tegas diatas kemenangan kecil itu ditegaskan bahwa pandangan sempit dan rasisme serta sok Ahli Hukum Pidana gadungan yang ditunjukan oleh Tutik Purwaningsih, Ahamad Zakaria dan Viktor Nasition atau Viktor Wedan mengunakan teknik pencatutan nama organisasi dan bahkan mengunakan nama organisasi yang tidak jelas eksistensinya sebagaimana dalam pernyataan pada beberapa mediaonlien abal-abal itu menunjukan bahwa ketigannya adalah aktivis abal-abal pula sebab seorang aktivis sejati dapat bersolidaritas dalam segala hal yang menurutnya terdapat ketidak adilan bukannya menilai tanpa melakukan sesuatu diatas kondisi kebebasan berekspresi dan berdemokrasi yang kian dipenjarakan diseluruh indonesia dan khususnya di yogyakarta.

“Gunakan Kebebasanmu Untuk Mendukung Perjuangan Kami”
Aung Sang Suki
(Anggrek Besi dari Burma)