MENELUSURI
NILAI KEADILAN
DALAM
NEGARA
INDONESIA
( Nilay Keadilan
Dalam Implementasi Sistim Hukum Indonesia di Tanah Papua)
Hukum
tercipta dan terbentuk dari komponen norma-norma yang hidup dalam masyarakat
dan pada dasarnya mengandeng nilai keadilan yang bertujuan untuk menciptkan
pola hidup damai, harmornis, teratur, dan tertib dalam cita-citanya untuk
menetralkan dan melindungi Hak Asasi Manusia seluruh subjek hukum yang menghuni
kolong langit tanpa membedakan status, golongan, kedudukan, agama, ras, gender,
dan perbedaan lainnya. Pendapat ini mungkin bisa dikatakan bersumber dari Von
Savigny pencetus mazhab sejarah hukum yang menyimpulkan bahwa hukum
lahir, tubuh, dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Esensi
keadilan yang dibangun oleh manusia dari jaman ke jaman selalu berubah, namun
perubahannya hanya pada sumber keadilan itu berasal, seperti terbangun pada
jaman klasik dimana keadilan bersumber dari alam, kemudian berkembang lagi pada
jaman romawi disimpulkan bahwa keadilan bersumber dari Tuhan, dan berkembang
lagi pada jaman pencerahan dimana keadilan disimpulakan bersumber dari manusia
melalui legislator yang menjadi perwakilan rakyat. Setiap jaman diatas memiliki
tokoh-tokoh intelektualnya masing-masing dan gagasannya juga berfariasi untuk
membenarkan pandanganya, sehingga terlihat beberapa konsep tentang keadilan
yang ditawarkan kehadapan publik.
Buah
pikiran para filsof yang kemilau diabad ke-21 yaitu konsep Tata Hukum/Perundang-Undangan,
dan organisasinya yang disebut Polis. Kedua konsep itu berefolusi
mengikuti perkembangan jaman dan kemajuan pemikiran para filsof sehingga
kemudian disulap menjadi Negara dan Tata Hukum atau
perundang-undangan sebagai konsep kekinian.
Dari
sekian negara-negara yang bermukim dijagat raya, Indonesia adalah salah satu
penganut konsep itu berkaitan dengan nilai
keadilan yang jelas menjadi spirit politik setiap negara yang berjuang
untuk menentukan nasibnya sebagai suatu negara termasuk Indonesia, sebagai
spirit politik maka yang jelas keterlibatnnya dalam mencapai cita-cita negara
itu akan dimasukan kedalam tata hukum negara yang dimaksud.
Untuk
mengantarkan cita-cita negara sampai pada puncak harapan dan kemilauannya maka
dibutuhkan alat-alat yang akan berfungsi untuk
mengirinya sampai pada tempat yang diinginkan. Dengan demikian sehingga
perangkat negara yang telah ada karena menjadi syarat De Fakto, serta berkaitan
dengan cita-cita negara diatas maka konsep Trias Politika-nya Montesqui
yang dianggap tepat sehingga marak digunakan oleh negara-negara sekarang. Dalam
hal ini pandangannya hanya menitik beratkan pada lembaga yudikatif.
Setiap
negara memiliki teknis yang berbeda dalam hal mengimplementasikan nilai
keadilan, dan dalam usahanya untuk mewujudkan nilai keadilan yang
didamba-dambakan. Seperti yang diimplentasikan di negara Indonesia khususnya
untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dimana telah diberikan kewenangan kepada
lembaga yudikatif yang secara legal memiliki independensi cukup jelas dan untuk
lebih maksimalnnya dilibatkan dengan Institusi Kepolisian sebagai penyelidik
dan penyidik, dan lain-lainnya berdasarkan undang-undang.
Dari
usiannya yang telah memasuki 65 Tahun ini Indonesia belum menunjukan nilai
keadilan yang memang dicita-citakan oleh pendiri negara ini yang telah dimuat
secara jelas dalam UUD 1945. Sampai sekarang implementasinya yang tidak jelas
dan penuh muatan amisnya kepentingan politik itu hanya menimbulkan sekian
pertanyaan, seperti;
1.
Nilai keadilan apa yang
dijadilan landasan berpijak dalam perumusan hukum/Per-Undang-Undangan, dan
Bagaimana penerapan ?, dan
2.
Hasil keadilan seperti
apa yang telah diperoleh selama ini ?.
untuk
melihat lebih jauh terkait beberapa pertanyaan diatas maka, akan dibahas
implemenatasi nilai keadilan oleh negara Indonesia melalui penerapan sistim
hukum kepada Masyarakan Adat Papua di Tanah Papua.
A.
PANDANGAN
UMUM TENTANG KEADILAN
Setiap
orang memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait keadilan, sebagai contoh
pandangan terkait keadilan antara seorang pengamen dan pemilik perusahaan
tentunya berbeda, perbedaan itu yang jelas dipengaruhi oleh pekerjaan,
penghasilan, status, dan lain-lain sehingga jelas akan berbeda. Selain itu
pandangan akan keadilan juga akan berbeda walaupun yang memberikannya adalah
seorang ahli, hal ini mungkin disebabkan karena keadilan yang sedang
dibicarakan ini bentuknya abstrak dan keberadaannya pada jiwa manusia sehingga
jawaban yang akan diperoleh juga mungkin akan sesuai dengan pemahamannya
masing-masing. Terkait kondisi itu juga diperjelas oleh pandangan Dewey
bahwa keadilan tidak dapat didefinisikan, ia merupakan idealisme yang
tidak rasional.[1]
Jika
dibandingkan dengan pandangan umum tentang hukum dalam hal definisi kiranya
akan mirip kondisinya sebab terkait definisi hukum sampai saat ini belum
mendapatkan jawaban yang tepat karena hampir semua ahli hukum memberikan
definisi tentang hukum yang berlainan sehingga untuk menyimpulkan kondisi itu
maka Apeldoorn
mengatakan bahwa; hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak
mungkin orang menyatukannya dalam satu rumusan secara memuaskan. Lagi pula,
pada umumnya definisi ada ruginya, yakni ia tidak dapat mengutarakan keadaan
sebenarnya dengan jelas. Keadaan sebenarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan
ganti-berganti, sedangkan definis, karena ia menyatukan segala-galanya dalam
satu rumusan, harus mengabaikan hal yang berupa-rupa dan yang banyak bentuknya.[2]
Dengan
melatarbelakangi atas pandangan dan atas kesamaan tipikal jika diberikan
pandangan umum terhadap keadilan sehingga untuk mendapatkan kejelasan terkait
pandanga umum tentang keadilan maka akan dikutip pandangan keadilan yang telah
dirumusakan oleh para ahli.
Menurut
Plato
idealisme keadilan akan tercapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat
berupa individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-masing dan
bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diembani, selanjutnya tidak dapat
mencampuri urusan dan tugas kelompok lain.[3]
Aristoteles
mendefinisikan keadilan kedalam dua bentuk keadilan, yaitu; Keadilan Distributif, dan Keadilan Komulatif. Masing-masing bentuk
keadilan yang dikonsep dan ditawarkannya itu memiliki artian yang berbeda,
dimana; Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada
tiap-tiap orang bagian menurut jasanya, sedangkan Keadilan Komulatif adalah
keadilan yang memberikan hak kepada seseorang berdasarkan statusnya sebagai
manusia; keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan
tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.[4]
Untuk
menyimpulkan keadua pendapat filsof diatas dan pendapat filsof lainnya maka Hans
Kelsen berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan menjadi dua pola
dasar, yaitu; Rasional dan Metafisik. Tipe Rasional sebagai
tipe yang berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara
mendefinisikannya dalam satu pola ilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan
tipe rasional berlandaskan pada akal, pola ini diwakili oleh Aristoteles.
Sedangkan Tipe Metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke
dunia lain dibalik pengalaman manusia, pola ini diwakili oleh Plato.
Sedangkan
Herbert
Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan, dimana setiap orang
bebas melakukan apa yang ia inginkan asal tidak mengganggu orang lain. Pendapat
ini dilengkapi lagi oleh John Rawls dengan pandanganya bahwa
kebebasan dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan.
Dalam penegasannya beliau menjelaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya
tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi. Beliau percaya bahwa suatu
perlakukan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam
keadilan formal atau juga disebut keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung
pengakuan akan kebebasan dan kesamaan bagi semua orang. Rawls bahkan memberikan
rumusan teori keadilan yang disebut dengan prinsip-prinsi pertama keadilan itu
bertolak dari suatu konsep keadilan yang lebih umum, anshori merumuskan ada dua
hal penting yang dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum rawls,
yaitu; Pertama, kebebasan ditempatkan dengan nilai-nilai lainnya, dan
denga itu juga konsep keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap
kebebasan. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu
mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti semua
orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan
penting yang secara objektif ada pada setiap individu; ketidaksamaan dalam
distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu
ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.
Dalam
upaya untuk menjelaskan makasud idealisme keadilan yang dipaparkan oleh para
ahli diatas, Soekanto juga memberikan pendapatnya terkait keadilan dimana
beliau menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap
tindakan yang hendak dikatakan adil, yaitu; Pertama, ”Naminem Laedere” yakni jangan merugikan orang lain, secara luas
azas ini berarti apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang
lain mengalaminya. Kedua, ”Suum Cuique
Tribuere” yakni bertindaklah sebanding, secara luas azas ini berarti apa
yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya. Dalam
penjabarannya Amshori menjelasan bahwa azas pertama merupakan sendi
equality yang ditunjuk kepada umum sebagai azas pergaulan hidup,
sedangkan azas kedua merupakan azas aquity yang diarahkan pada
penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak
sama.
Dibalik
pengertian keadilan diatas seiring bergeraknya jaman adapula para filsuf hukum
yang mengartikan keadilan dengan pandangannya yang cukup radikal dan dapat
dikatakan pergi jauh dari esensi keadilan, namun secara fakta pendapat mereka
dapat dibenarkan, seperti yang dirumuskan oleh Nietzsche menurutnya
keadilan sebagai kebenaran dari orang yang kuat. Sementara Hobbes berpendapat bahwa
keadilan adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menurut Dewey
keadilan tidak dapat digambar dalam pengertian yang terbatas karena keadilan
adalah kebaikan yang tidak berubah-ubah, beliau bahkan menjelaskan bahwa
persaingan adalah wajar dan adil dalam kapitalisme kompetitif-individualistik. Freidmann
hanya mengomentari semua pendapat diatas dengan mengatakan bahwa kegagalan
standar keadilan selama ini dalah akibat kesalahan standar dasar pembentukan
keadilan itu, menurut beliau keadilan yang mutlak adalah keadilan dengan dasar
agama.
Dari
beberapa pendapat para ahli diatas mungkin telah sedikit mengantarkan pikiran
kita pada suatu pemahaman bersama bahwa untuk terwujudnya keadilan maka
dibutuhkan perangkat, suber daya manusia yang profesional, dan itikat baik dari
(Good Will) penguasa suatu negara yang agar dapat terwujud nilai-nilai keadilan
secara efektif, dan dapat melindungi seluruh Hak Asasi Manusia dipermukaan bumi
termasuk warga negara indonesia terlebih khususnya masyarakat adat Papua di
tanah Papua.
B.
KONSEP
KEADILAN DALAM NEGARA INDONESIA
Salah
satu latar belakang perjuangan rakyat Indonesia terhadap Kolonial Belanda
adalah ketidakadilan yang melanda kehidupan mereka diseluruh wilayah Hindia
Belanda (Sabang – Amboina) selama 350 tahun (setengah abad) sehingga melahirkan
semangat nasionalisme indonesia yang membara dan kemudia mengusir Kolonial
Belanda kembali ke tempat asalanya. Proklamasi 17 Agustus 1945 kemudian
mengantarkan negara indonesia berdiri sejajar dengan negara lain dijagat raya
sebagai suatu negara yang merdeka dimata internasional.
Sejak
kemerdekaan itu dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama seluruh rakyat
indonesia yaitu keadilan seadil-adilnya yang juga menjadi spirit perjuangan itu
kemudian dirumuskan keadalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 atau yang sering diistilahkan dengan UUD 1945 kini. UUD 1945 itu
disusun oleh suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintahan Pendudukan Bala
Tentara Jepang di Jawa dan atas pengetahuan para pendiri Negara
Indonesia yang disebut dengan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI), dan kemudian disahakan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jenderal Terauchi.[5]
Dalam
alam pikir yang terbangun pada saat persidangan BPUPKI untuk mengodok
perlengkapan negara indonesia pada saat itu menetapkan nilai keadilan
berdasarkan teori keadilan apa, dan yang dicetuskan oleh filsof siapa itu belum
diketahui secara pasti. Hal itu mungkin diakibatkan karena situasi pada saat
itu sebagai kebutuhan kemerdekaan Indonesia sehingga tidak perlu untuk
dihiraukan ataupun dibahas, namun kondisi ketidakjelasan yang dipelihara sampai
sekarang tanpa satupun pencerahan dan landasan berpijak secara ilmiah yang
tegas itu akhirnya secara tidak langsung sudah melahirkan pertanyaan bagi para
pemerhati hukum dinegara ini terlebih khususnya para akademisi dan mahasiswa
dibidang hukum kemudian.
Kondisi
keberagaman Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dinegara Indonesia juga
sangat mendukung pertanyaan yang dimaksudkan diatas, sebab nilai keadilan yang
dipahami anatar masing-masing kelompok yang jelas akan berbeda. Jika dalam
perumusan UUD 1945 mengacu pada pemikiran Bung Karno dari hasil penelitian
disuatu desa dijawa barat pada saat melaksanakan perjalanan keliling kampun itu
yang kemudian dihadapkan kepada kalangan publik dengan istilah Marhaneisme
dan dengan meliahat paradikma beliau pada saat itu yaitu Nasionalis,
Agama, dan Komunis atau yang diistilahkan (NASAKOM) maka mungkin ia
mengunakan konsep keadilan yang ditawarkan Karl Marx dan Fredrick Hegel, atau
bahkan konsep yang ditawarkan para Filsof Hukum Islam. Serta konsep nasionalme yang dijadikan
rujukan bagi nilai keadilan dalam merumuskan UUD 1945 maka secara Sosio
Kultur pandangan Bung Karno tentang keadilan akan
berbeda dengan pandangan Masyarakat Adat Dayak di Pulau Kalimantan dalam hal mengartikan
nilai keadilan, dan akan sangat berbeda juga dengan pandangan Masyarakat
Adat Papua di Tanah Papua
yang memang secara Sosiolo Kultur dan Sosio Historis tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan negara Indonesia sebab pada waktu itu Papua belum
termasuk kedalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dengan
melihat kondisi itu sehingga sangat membingungkan dan merupakan kekeliruan
berpikir jika dalam perjalananya ada akademisi yang mengambil kesimpulan
bahwa konsep keadilan dalam Politik
Hukum Indonesia telah tepat dan final mendapatkan tempat dalam pikiran semua
individu diseluruh wilayah
Indonesia. Jika demikian kenyataannya maka pertanyaannya adalah nilai-nilai
keadilan apa dan pandangan filsuf siapa yang dipakai dalam perumusan dan
penerapan politik hukum di Negara Indonesia ?.
Perlu
diketahui bahwa Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan
mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus
mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan
masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan
menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “Setuju”, tetapi benar-benar merupakan
jelmaan kesepakatan yang mingikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga
kelestarian prinsip keadilan tersebut. Dengan demikian seseorang kemudian
mmempertimbangkan “biaya psikologi” yang harus ditanggung dalam memenuhi
kompensasi kesepakatan pengikat gerak sosial dan individual tersebut. Dengan
pandangan dan berdasarkan kemajemukan masyarakat indonesia dengan sekian fersi
keadilan yang diidamkan dalam masyarakat adat didalamnya, maka apakah negara
indonesia telah mampu mengharmoniskan konflik individu-individu yang lahir
diseluruh wilayah indonesia dengan perangkat hukumnya, dan apakah secara
pisikologi individu-individu yang bersangkutan menerima pesan keadilan yang
tersirat dalam perangkat hukum itu ?.
Dengan
melihat beberapa pertanyaan yang lahir diatas sehingga untuk menemukan jawaban
yang jelas terkait pertanyaan itu maka sebelumnya akan dilihat konsep keadilan
yang tersirat dalam Undang-Undang UD 1945, dan dari mana konsep keadilan itu
berasal. Data tertulis terkait konsep keadilan yang ditawarkan oleh soekarno
pada waktu itu adalah seperti yang termuat dalam isi PANCASILA pada sila yang
ke-lima yaitu; “keadilan sosial bagi seluruh rakyar indonesia”. PANCASILA
sendiri digambarkan oleh para pendiri negara indonesia sebagai Ideologi Negara
Indonesia sehingga tepat kemudian jika dikatakan bahwa konsep keadilan yang
dimuat dalam UUD 1945 bersumber dari isi PANCASILA diatas. Untuk lebih jelasnya
akan dimuat konsep keadilan yang tersirat pada alinia keempat diparagraf
terakhir UUD 1945, sebagai berikut;
Maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, Serta Dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.[6]
Dengan
demikian maka jelas kemudian bahwa konsep keadilan yang dimuat dalam UUD 1945
adalah konsep keadilan sosial yang dimaksudkan Soekarno dalam sila ke-lima
PANCASILA.
Kosep keadilan sosial yang
dimaksudkan diatas tidak memiliki definisi secara jelas dan tegas yang dimuat
pada bagian lain dalam pasal-pasal dalam UUD 1945, atau dengan membuat dokumen
tersendiri, atau bagaimanapun caranya untuk menjelaskannya. Kondisi itu
kemudian diperparah dengan Asas Legalitas, Asas Lex Superiori Derogat Legi
Inferiori yang dianut dalam negara hukum Indonesia sehingga dalam
prakteknya terkait definisi konsep keadilan sosial tersebut sudah, telah, dan
akan melahirkan perdebatan karena telah mengarah pada pengartian yang ambigu
dan ambifalen
jika dipandangan dari kondisi sosial masyarakat indonesia yang memang
beranekaragam Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).
Ada beberapa pendapat sarjana hukum terkait definisi
keadilan sosial yang dimuat dalam kamus hukum, diantaranya;
1. Keadilan
sosial adalah; kerjasama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara
organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan
nyata untuk tumbuh, dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.[7]
2. Keadilan
sosial adalah; suatu bentuk keadilan dimana seluruh anggota masyarakat memiliki
kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh, dan belajar hidup (Social Justice).[8]
Berdasarkan
pada dua definisi diatas, jika penilaiannya dipandang dari sisi manusia dimana
secara langsung memiliki Hak Asasi Manusia dimana yang menjadi prioritas dalam
merumuskan definisi diatas adalah unsur HAM yang sifatnya privasi antara
penerima dan pemberi (Manusia dan Tuhan) dimana tidak ada orang yang dapat
membatasi / halangi / hilangkan, dan kelangsungannya sudah menjadi kodrat
manusia, dimana; setiap manusia yang lahir harus bertumbuh, karena memiliki
pikiran maka manusia belajar (formal / non-formal), dan karena memiliki nafas
maka hidup. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa dalam perumusan konsep
keadilan sosial diatas, sangat jelas terlihat bahwa nilai keadilan yang dipakai
dalam Konsep Keadilan Sosial diatas adalah rumusan Keadilan Komulatif oleh
Aristoteles.
Anshori
juga memberikan pendapat terkait konsep keadilan sosial dengan berpatokan pada
politik hukum suatu negara untuk menjamin keadilan dalam masyarakat, beliau
menyebutkan bahwa keadilan sosial (Iustitia
Socialis) yang dulu disebut Keadilan Distributive (Iustitia Distributive).[9]
Berdasarkan pandangan itu maka dapat disimpulkan bahwa nilai keadilan yang terkandung
dalam rumusan Keadilan Sosial dalam UUD 1945 berpatokan pada konsep keadilan
yang dirumuskan oleh Aristoteles.
Dengan
demikian maka telah jelas bahwa nilai keadilan yang diimplematasikan dalam
Konsep Keadilan Sosial pada UUD 1945 bersumber dari konsep keadilan yang
dirumuskan oleh Aristoteles yaitu Keadilan Ditributiv dan Keadilan Komulatif.
Dalam
proses perumusannya, Kedua konsep keadilan Aristoteles yang diadopsi oleh Soekarno
dan kemudian dipadukan dengan kepentingan politik rakyat Indonesia yang sedang
berjuang untuk membentuk negara Indonesia yang merdeka pada saat itu, serta
dengan berlandaskan pada sosio kultur rumpun melayu dipulau Jawa, Bali, dan Sumatra.
Akhirnya beliau menyimpulkan gagasan itu kedalam satu Konsep Keadilan yang
disebut Keadilan Sosial dalam sila ke-5 Ideologi Kemerdekaan Indonesia yaitu
PANCASILA.
C.
KONDISI
UMUM TANAH PAPUA
Sejak
dahulu nenek moyang masyarakat adat papua telah menempati, dan beranakcucu diatas tanah papua sampai sekarang, struktur
sosial yang terbangun disana adalah berdasarkan kelompok adat atau yang
sekarang diistilahkan dengan Masyarakat adat. masyarakat adat Papua telah
mengenal aturan sejak pertama kali mereka disana, kondisi itu bisa terlihat
dalam keteraturan hidup mereka diwilayah adatnya masing-masing sehingga dapat
mengantarkan mereka bisa hidup dengan damai, dan harmonis anatara masyarakat
adat satu dan lainnya dan antar sesama anggota suatu kelompok diatas tanap
Papua. Hasil pengalian purbakala yang dilakukan oleh para peneliti asing dari
Universitas Groninggen, Belanda di Goa Krie dan Troe dipingiran Danau Vogelkoop
(kini, Danau Aitinyo) dan menemukan sisa-sisa makanan, tulang, sisa hasil
pembakaran, dan tungku api disimpulkan bahwa Masyarakat Adat Papua telah berada
dan bermukim diatas tanah Papua sejak jaman pleistocene (Berakhirnya Jaman Es).
Dalam
kehidupan Masyarakat Adat Papua sangat jarang terjadi Kasus yang mengarah pada
ketidakadilan, sekalipun dalam kondisi yang tegang seperti dalam situasi perang
kelompok (yang sering disalahartikan dengan perang suku) mereka masih berpegang
pada keadilan sebab terkesan telah ada Prinsip Humaniter pada saat itu.
Kondisi diatas telah membuktikan bahwa mereka telah memiliki konsep keadilan
dalam norma-norma yang tumbuh, hidup, dan berkembang bersama-sama dengan mereka
(kini, Hukum Adat). Salah satu kasus yang belum pernah terjadi dalam masyarakat
adat papua sejak dahulu sampai sekarang adalah Kasus Penyerobotan Tanah antar
masyarakat adat, dan antar klen dalam satu kelompok masyarakat adat karena
secara kolektif semua masyarakat adat Papua telah mengetahui secara jelas
batas-batas wilayah ulayat masing-masing. Secara praktek masyarakat adat papua
memiliki konsep tentang keadilan seperti konsep keadilan yang dirumuskan oleh Plato.
Secara
sosio kultur masyarakat adat papua tidak memiliki hubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan masyarakat lainnya diluar pulau papua, ataupun
sebaliknya masyarakat luar papua juga tidak mimiliki hubungan langsung atau
tidak langsung dengan masyarakat adat papua. Adalah kebohongan publik yang
terungkap dalam pandangan soekarno yang menegaskan bahwa wilayah papua adalah
wilayah kerajaan majapahit pada masa kejayaannya Pengeran Gajah Mada, jika
demikian maka sebagai bukti bekas kerajaan mestinya terdapat candi, atau benteng,
atau makam, atau lain sebagainya yang masih terlihat agar menjadi bukti kuat
pandangan soekarno itu.
Kehadiran
pelaut asing Ortisan De Menetz pada tahun 1518 di pantai utara papua dan
kemudian memberikan nama pulau itu dengan sebutan Nova Guinea atau Guinea baru
karena terispirasi atas kemiripan ciri-ciri tubuh warga papua dengan warga
Guinea Bisau di Benua Afrika yang sebelumnya dijumpainya semakin menambah
kejelasan bahwa memang Soekarno serakah dan telah melakukan pembohongan publik
kepada masyarakat Indonesia untuk meloloskan dan/atau mewujudkan mimpinya yang
terispirasi dari pertujukan pagelaran wayang kulit yang ditonton pada masa
kecilnya, mungkin. Ambisi soekarno itu benar-benar telah sukses menghancurkan Sosio
Histori dan Politik Histori masyarakat adat papua yang sudah, sedang, dan
akan terbentuk.
Politik
Histori Indonesia telah membuktikan bahwa
masyarakat adat papua tidak pernah ikut berjuang bersama-sama dengan Rakyat
Indonesia untuk mengusir Kolonial Belanda dan memiliki cita-cita bersama untuk
mendirikan Negara Indonesia. Sebagai buktinya adalah pada saat pelaksanaan
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 tidak ada satupun masyarakat adat papua yang
menyatakan sikap bersama dengan Jong Sumatera, Jong Java, Jong Celebes, Jong
Borneo, Dan Jong Amboina sebagai; Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia,
dan Satu Tanah Air Indonesia. Adalah kekeliruan jika kemudian ada yang
mengatakan bahwa Jong Amboina sudah mewakili masyarakat adat papua, sebab
secara Sosio Kultur dan Sosio Histori keduanya berbeda.
Masyarakat
Adat Papua menyakini bahwa mereka memiliki politik histori yang berbeda dengan
rakyat indonesia, walaupun sama-sama dijajah oleh Belanda. Hal itu dapat
terlihat jelas dalam sikap dan perlakuan kolonial belanda terhadap kedua
wilayah antara Nederland Nieuw Geinea (Papua), dan Hindia Belanda
(Indonesia).
Sampai
sekarang secara Sosio Kultur
masyarakat adat papua masih mengakui, menghargai, dan menjalankan norma-norma
yang hidup, tumbuh, dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat adat papua.
Kondisi norma-norma itu telah menjadi Jati Diri Setiap Orang Papua sehingga
keberadaannya akan terus ada sepanjang orang papua itu masih ada diatas muka
bumi ini, artinya secara otomatis pandangan nilai keadilan yang dihayati
Masyarakat Adat Papua akan terus ada mengikuti mereka didalam alam
pemikirannya.
D.
PENERAPAN
NILAI KEADILAN DI TANAH PAPUA
Nilai
keadilan yang tumbuh subur dalam benak masyarakat adat papua kemudian
diguncangkan oleh kehadiran bangsa asing (Eropa, Indonesia) dengan mengunakan
beberapa media yaitu agama dan sistim pemerintahan. Dari kedua media diatas,
yang sedikit memberikan ruang bagi nilai keadilan yang diyakini masyarakat adat
papua adalah agama sedangkan kehadiran sistim pemerintah benar-benar
menghancurkan, menghaguskan, dan menghilangkan nilai keadilan yang dihayati
oleh masyarakat adat papua.
Berdasarkan
kenyataan sejara ditanah papua sebelum diterapkan sistim pemerintahaan
indonesia, telah diberlakukan sistim pemerintahaan belanda. Dalam
mengimplementasikan sistim pemerintahan antara keduannya terdapat perbedaan
yang sangat jauh, ibarata langit dan bumi.
Pemerintah
Belanda dalam meng-implementasi-kan sistim pemerintahannya terkesan membumi dan
sedikit membuka ruang bagi diberlakukannya nilai keadilan yang terkandung dalam
masyarakat adat papua, sebagai contoh yang sanggat riel adalah mereka mendidik
generasi muda papua dan membuka ruang demokrasi bagi mereka dengan menciptakan
Nieuw Guinea Raad (NGR) atau Dewan Nieuw Guinea, membagikan wilayah papua
kedalam 7 (tujuh) wilayah besar sesuai dengan sosio cultur masyarakat adat
papua, dan tidak penah memaksakan masyarakat untuk memusnahkan atribut
budayanya dengan cara membakar, dan dalam pengambilan kebijakan dan penetapan
baik ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dilakukan di wilayah
Papua
Pemerintah
Indonesia dalam meng-implemetasi-kan sistim pemerintahannya terkesan melangit
dan tidak membuka ruang bagi diberlakukannya nilai keadilan yang terkandung
dalam masyarakat adat papua, sebagai contoh yang sanggat riel adalah dalam
penerapan sistim pendidikan didikte melalui sistim kurikulum dan dalam
implementasinya tidak memasukan unsur budaya kedalamnya seperti pelajaran
bahasa daerah, terkesan mempraktekkan kembali Politik De Vide Et Impera
dengan cara memekarkan wilayah atministrasi yang tidak sesuai dengan kondisi
sosial yang terbangun, menyumbat ruang demokrasi dan HAM dengan tangan besi,
memusnahkan atribut budaya papua dengan cara membakarnya dan mengelar rasia
yang dikemasan dengan Operasi Koteka (DOM), dan dalam pengambilan kebijakan dan
penetapannya baik ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dilakukan diluar
wilayah papua atau lebih tepatnya di Jakarta.
Perlu
diketahui bahwa jauh sebelum diterapkannya sistim pemerintahan dari kedua
negara diatas, masyarakat adat papua telah memiliki sistim pemerintahan adat
yang menjadi pedoman hidup mereka. Implementasinya sangat efektif
menyelamatkan, menyelaraskan, dan mengimbangi kehidupan manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan sehingga menciptakan suatu struktur kehidupan yang harmonis,
teratur, ramah, dan sehat.
Kehadiran
kedua sistim pemerintahan diatas juga berbeda dimana pemerintahan Belanda pada
akhir tahun 18-an, sedangkan kehadiran pemerintahan
Indonesia sedikit berfariasi akibat ketegangan politik Belanda, Indonesia, dan Papua
sehingga mengundang perhatian
internasional. Akhirnya untuk mengatasi
persoalan itu PBB mendeklarasika The New Yoork Agreemend sebagai prodak hukum
internasional untuk menyelesaikan konflik politik tersebut. Berdasarkan letak
wilayah dan pertimbangan politik ekonomi secara tesembunyi pada tanggal 1 Mei
1963 untuk menjalankan
pengawasan dan atministrasi pada massa kekosongan kekuasaan itu berdasarkan kebijakan
internasional, PBB
menyerahkan wilayah papua kepada pemerintah indonesia namun sifatnya sementara
sampai pada pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.[10]
Secara detail massa pemerintahaan indonesia pada waktu
itu terhitung dari tanggal 1 Mei 1963 – 1969 walaupun
demikian penandatangganan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada
tanggal 7 April 1967 antara
pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana status
wilayah papua masih dikategorikan sebagai wilayah sengketa Internasional. Pada
tahun 1969 secara resmi sistim pemerintahan indonesia diterapkan diseluruh Tanah
papua.
Sejak
tanggal 1 Mei 1963 – 2012 sistim pemerintahan indonesia dan secara otomatis
nilai keadilan yang terkandung didalamnya mulai diterapkan diseluruh Tanah
Papua. Dengan melihat kenyataan hidup pertarungan akan dua nilai keadilan itu
terus bertarung, namun pertarungannya kurang adil karena sistim hukum yang
menjadi wadahnya hanya memberikan ruang bagi nilai keadilan yang dominan,
disamping itu maraknya penegak
hukum yang tidak profesional
dalam melaksanakan tugasnya sehingga implementasi
nilai
keadilan yang ideal sesuai dengan yang digagaskan oleh dua toko filsof yunani ternama
Aristoteles, dan Plato diubah
menjadi selir bagi raja (pemegang
kuasa) di negara Indonesia.
Lantas nilai keadilan seperti apa yang sudah, sedang, dan akan dipraktekkan di
Tanah Papua ?.
E.
KESIMPULAN
Berdasarkan
carut marut sejara politik Indonesia di Tanah Papua yang bermuatan kepentingan ekonomi politik,
dan pandangan nilai keadilan Masyarakat Adat Papua sangat jauh dari nilai
keadilan sosial dalam sistim pemerintahan indonesia yang kemudian menciptakan
dua kutub yang salaing berlawanan dan sampai sekarang belum mendapatkan jalan
keluarnya. Sebagai contoh dalam prakteknya berdasarkan hukum pemerintah
indonesia melihat Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah Separatis sehingga
banyak dari antara mereka yang dipenjarakan, disiksa, diintimidasi, diteror,
dan bahkan dibunuh tanpa melihat dan/atau menghargai DUHAM (Deklarasi Umum
Tentang Hak Asasi Manusia) atau UU 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan UUD 1945.
Sikap itu menurut sistim pemerintahan indonesia dibenarkan dan adalah sebuah
keadilan politik,[11]
karena ada pihak yang sedang merong-rong wilayah kedaulatan NKRI.
Walaupun
demikian orang papua dengan pandangannya yang berlandaskan pada nilai keadilan
yang diyakini oleh masyarakat adat papua menilai bahwa sikap dan tindakan
Pemerintah Indonesia adalah suatu Tindakan Kerakusan, Keserakaan, dan Kenafsuan
yang berlebihan sehingga dengan seenaknya menciptakan Produk Keadilan Politik untuk
membenarkan tindakan mereka yang bertentangan Nilai Keadilan, Fakta Sejara,
Sosial Cultur, dan Tinggi akan
Pelanggaran HAM.
Secara
hakiki sikap pemerintah indonesia itu telah memperkosa nilai keadilan yang
sebenar-benarnya sebab keadilan tidak bermandi darah, keadilan bukan lahir dari
sebuah ruangan yang busuk seperti senayan, keadilan juga tidak menghilangkan
nyawa manusia karena seperti kata pepatah
bahwa
“setajam-tajamnya pedang
keadilan tidak dapat melukai orang yang tidak bersalah”.
Dengan
demikian maka nilai keadilan yang terpraktekan melalui penerapan sistim
pemerintahan indonesia adalah Nilai
Keadilan Politik Kepentingan Negara Kesatuan Indonesia di Tanah Papua.
[1] Anshori, Filsafat Hukum,
Gadja Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2006., Hal. 49
[2] Apeldoorn, Pengantar Ilmu
Hukum, PT. Pradnya Pramita, Jakarta, Hal. 1
[3] Anshori, Filsafat Hukum,
Gadja Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2006., Hal. 67
[4] Marwan dan Jimmy, Kamus
Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”, Reality Publisher, Surabaya,
2009, Hal. 331
[5] Selengkapnya baca; Soehino, HUKUM TATA NEGARA “Undang-Undang Dasar Yang Pernah Berlaku dan
Sedang Berlaku di Negara Republik Indonesia”., BPFE, Jogjakarta, Edisi
Pertama 2011., Hal 1 - 2
[6] Ibid., Hal. 6 – 7
[7] Prajogo, KAMUS HUKUM Internasional dan Indonesia, Wacana
Intelektual, 2007, Hal. 239
[8] Marwan dan Jimmy, Kamus
Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”, Reality Publisher, Surabaya,
2009, Hal. 331
[9] Anshori, Filsafat Hukum,
Gadja Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2006., Hal. 151
[10] Hasil PEPERA 1969 dinilai Cacat Hukum Internasional karena
Implementasinya tidak sesuai dengan yang diatur dalam The New Yoork Agreemend,
seperti Diwajibkan Satu Orang Satu Suara (One Men One Vote) dalam pelaksanaan
PEPERA, namun yang diimplentasikan dengan mekanisme Indonesia yaitu dengan cara
musyawara Mufakat yang tidak pernah dimuat dalam The New Yoork Agreemend,
sehingga dari jumlah orang papua yang berjumlah 600.000 jiwa yang ikut memilih
adalah hanya sebanyak 1025 Orang. Selain itu dalam pelaksanaannya diliputi
dengan Kekerasan Militer (Pelanggaran
HAM) pasca diberlakukannya status (Daerah Operasi Militer) sejak TRIKORA
diluncurkan pada tanggal 19 Desember 1961, di Alun-Alun Utara, Yogyakarta.
[11] Keadilan Politik adalah Keadilan yang lahir berdasarkan
kepentingan politik sebuah negara.