Minggu, 28 Juli 2013

MENAKAR NILAI KEADILAN POLITIK INDONESIA DI PAPUA



MENELUSURI NILAI KEADILAN
DALAM
NEGARA INDONESIA

( Nilay Keadilan Dalam Implementasi Sistim Hukum Indonesia di Tanah Papua)





Hukum tercipta dan terbentuk dari komponen norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan pada dasarnya mengandeng nilai keadilan yang bertujuan untuk menciptkan pola hidup damai, harmornis, teratur, dan tertib dalam cita-citanya untuk menetralkan dan melindungi Hak Asasi Manusia seluruh subjek hukum yang menghuni kolong langit tanpa membedakan status, golongan, kedudukan, agama, ras, gender, dan perbedaan lainnya. Pendapat ini mungkin bisa dikatakan bersumber dari Von Savigny pencetus mazhab sejarah hukum yang menyimpulkan bahwa hukum lahir, tubuh, dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Esensi keadilan yang dibangun oleh manusia dari jaman ke jaman selalu berubah, namun perubahannya hanya pada sumber keadilan itu berasal, seperti terbangun pada jaman klasik dimana keadilan bersumber dari alam, kemudian berkembang lagi pada jaman romawi disimpulkan bahwa keadilan bersumber dari Tuhan, dan berkembang lagi pada jaman pencerahan dimana keadilan disimpulakan bersumber dari manusia melalui legislator yang menjadi perwakilan rakyat. Setiap jaman diatas memiliki tokoh-tokoh intelektualnya masing-masing dan gagasannya juga berfariasi untuk membenarkan pandanganya, sehingga terlihat beberapa konsep tentang keadilan yang ditawarkan kehadapan publik.
Buah pikiran para filsof yang kemilau diabad ke-21 yaitu konsep Tata Hukum/Perundang-Undangan, dan organisasinya yang disebut Polis. Kedua konsep itu berefolusi mengikuti perkembangan jaman dan kemajuan pemikiran para filsof sehingga kemudian disulap menjadi Negara dan Tata Hukum atau perundang-undangan sebagai konsep kekinian.
Dari sekian negara-negara yang bermukim dijagat raya, Indonesia adalah salah satu penganut konsep itu berkaitan dengan nilai keadilan yang jelas menjadi spirit politik setiap negara yang berjuang untuk menentukan nasibnya sebagai suatu negara termasuk Indonesia, sebagai spirit politik maka yang jelas keterlibatnnya dalam mencapai cita-cita negara itu akan dimasukan kedalam tata hukum negara yang dimaksud.
Untuk mengantarkan cita-cita negara sampai pada puncak harapan dan kemilauannya maka dibutuhkan alat-alat yang akan berfungsi untuk  mengirinya sampai pada tempat yang diinginkan. Dengan demikian sehingga perangkat negara yang telah ada karena menjadi syarat De Fakto, serta berkaitan dengan cita-cita negara diatas maka konsep Trias Politika-nya Montesqui yang dianggap tepat sehingga marak digunakan oleh negara-negara sekarang. Dalam hal ini pandangannya hanya menitik beratkan pada lembaga yudikatif.
Setiap negara memiliki teknis yang berbeda dalam hal mengimplementasikan nilai keadilan, dan dalam usahanya untuk mewujudkan nilai keadilan yang didamba-dambakan. Seperti yang diimplentasikan di negara Indonesia khususnya untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dimana telah diberikan kewenangan kepada lembaga yudikatif yang secara legal memiliki independensi cukup jelas dan untuk lebih maksimalnnya dilibatkan dengan Institusi Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, dan lain-lainnya berdasarkan undang-undang.
Dari usiannya yang telah memasuki 65 Tahun ini Indonesia belum menunjukan nilai keadilan yang memang dicita-citakan oleh pendiri negara ini yang telah dimuat secara jelas dalam UUD 1945. Sampai sekarang implementasinya yang tidak jelas dan penuh muatan amisnya kepentingan politik itu hanya menimbulkan sekian pertanyaan, seperti;
1.      Nilai keadilan apa yang dijadilan landasan berpijak dalam perumusan hukum/Per-Undang-Undangan, dan Bagaimana penerapan ?, dan
2.      Hasil keadilan seperti apa yang telah diperoleh selama ini ?.
untuk melihat lebih jauh terkait beberapa pertanyaan diatas maka, akan dibahas implemenatasi nilai keadilan oleh negara Indonesia melalui penerapan sistim hukum kepada Masyarakan Adat Papua di Tanah Papua.

A.    PANDANGAN UMUM TENTANG KEADILAN
Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait keadilan, sebagai contoh pandangan terkait keadilan antara seorang pengamen dan pemilik perusahaan tentunya berbeda, perbedaan itu yang jelas dipengaruhi oleh pekerjaan, penghasilan, status, dan lain-lain sehingga jelas akan berbeda. Selain itu pandangan akan keadilan juga akan berbeda walaupun yang memberikannya adalah seorang ahli, hal ini mungkin disebabkan karena keadilan yang sedang dibicarakan ini bentuknya abstrak dan keberadaannya pada jiwa manusia sehingga jawaban yang akan diperoleh juga mungkin akan sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Terkait kondisi itu juga diperjelas oleh pandangan Dewey bahwa keadilan tidak dapat didefinisikan, ia merupakan idealisme yang tidak rasional.[1]
Jika dibandingkan dengan pandangan umum tentang hukum dalam hal definisi kiranya akan mirip kondisinya sebab terkait definisi hukum sampai saat ini belum mendapatkan jawaban yang tepat karena hampir semua ahli hukum memberikan definisi tentang hukum yang berlainan sehingga untuk menyimpulkan kondisi itu maka Apeldoorn mengatakan bahwa; hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumusan secara memuaskan. Lagi pula, pada umumnya definisi ada ruginya, yakni ia tidak dapat mengutarakan keadaan sebenarnya dengan jelas. Keadaan sebenarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan ganti-berganti, sedangkan definis, karena ia menyatukan segala-galanya dalam satu rumusan, harus mengabaikan hal yang berupa-rupa dan yang banyak bentuknya.[2]
Dengan melatarbelakangi atas pandangan dan atas kesamaan tipikal jika diberikan pandangan umum terhadap keadilan sehingga untuk mendapatkan kejelasan terkait pandanga umum tentang keadilan maka akan dikutip pandangan keadilan yang telah dirumusakan oleh para ahli.
Menurut Plato idealisme keadilan akan tercapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diembani, selanjutnya tidak dapat mencampuri urusan dan tugas kelompok lain.[3]
Aristoteles mendefinisikan keadilan kedalam dua bentuk keadilan, yaitu; Keadilan Distributif, dan Keadilan Komulatif. Masing-masing bentuk keadilan yang dikonsep dan ditawarkannya itu memiliki artian yang berbeda, dimana; Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang bagian menurut jasanya, sedangkan Keadilan Komulatif adalah keadilan yang memberikan hak kepada seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia; keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.[4]
Untuk menyimpulkan keadua pendapat filsof diatas dan pendapat filsof lainnya maka Hans Kelsen berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan menjadi dua pola dasar, yaitu; Rasional dan Metafisik. Tipe Rasional sebagai tipe yang berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefinisikannya dalam satu pola ilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan tipe rasional berlandaskan pada akal, pola ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan Tipe Metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain dibalik pengalaman manusia, pola ini diwakili oleh Plato.
Sedangkan Herbert Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan, dimana setiap orang bebas melakukan apa yang ia inginkan asal tidak mengganggu orang lain. Pendapat ini dilengkapi lagi oleh John Rawls dengan pandanganya bahwa kebebasan dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Dalam penegasannya beliau menjelaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi. Beliau percaya bahwa suatu perlakukan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan formal atau juga disebut keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan dan kesamaan bagi semua orang. Rawls bahkan memberikan rumusan teori keadilan yang disebut dengan prinsip-prinsi pertama keadilan itu bertolak dari suatu konsep keadilan yang lebih umum, anshori merumuskan ada dua hal penting yang dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum rawls, yaitu; Pertama, kebebasan ditempatkan dengan nilai-nilai lainnya, dan denga itu juga konsep keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu; ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.
Dalam upaya untuk menjelaskan makasud idealisme keadilan yang dipaparkan oleh para ahli diatas, Soekanto juga memberikan pendapatnya terkait keadilan dimana beliau menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan adil, yaitu; Pertama, ”Naminem Laedere” yakni jangan merugikan orang lain, secara luas azas ini berarti apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya. Kedua, ”Suum Cuique Tribuere” yakni bertindaklah sebanding, secara luas azas ini berarti apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya. Dalam penjabarannya Amshori menjelasan bahwa azas pertama merupakan sendi equality yang ditunjuk kepada umum sebagai azas pergaulan hidup, sedangkan azas kedua merupakan azas aquity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.   
Dibalik pengertian keadilan diatas seiring bergeraknya jaman adapula para filsuf hukum yang mengartikan keadilan dengan pandangannya yang cukup radikal dan dapat dikatakan pergi jauh dari esensi keadilan, namun secara fakta pendapat mereka dapat dibenarkan, seperti yang dirumuskan oleh Nietzsche menurutnya keadilan sebagai kebenaran dari orang yang kuat. Sementara Hobbes berpendapat bahwa keadilan adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menurut Dewey keadilan tidak dapat digambar dalam pengertian yang terbatas karena keadilan adalah kebaikan yang tidak berubah-ubah, beliau bahkan menjelaskan bahwa persaingan adalah wajar dan adil dalam kapitalisme kompetitif-individualistik. Freidmann hanya mengomentari semua pendapat diatas dengan mengatakan bahwa kegagalan standar keadilan selama ini dalah akibat kesalahan standar dasar pembentukan keadilan itu, menurut beliau keadilan yang mutlak adalah keadilan dengan dasar agama.      
Dari beberapa pendapat para ahli diatas mungkin telah sedikit mengantarkan pikiran kita pada suatu pemahaman bersama bahwa untuk terwujudnya keadilan maka dibutuhkan perangkat, suber daya manusia yang profesional, dan itikat baik dari (Good Will) penguasa suatu negara yang agar dapat terwujud nilai-nilai keadilan secara efektif, dan dapat melindungi seluruh Hak Asasi Manusia dipermukaan bumi termasuk warga negara indonesia terlebih khususnya masyarakat adat Papua di tanah Papua.   


B.     KONSEP KEADILAN DALAM NEGARA INDONESIA
Salah satu latar belakang perjuangan rakyat Indonesia terhadap Kolonial Belanda adalah ketidakadilan yang melanda kehidupan mereka diseluruh wilayah Hindia Belanda (Sabang – Amboina) selama 350 tahun (setengah abad) sehingga melahirkan semangat nasionalisme indonesia yang membara dan kemudia mengusir Kolonial Belanda kembali ke tempat asalanya. Proklamasi 17 Agustus 1945 kemudian mengantarkan negara indonesia berdiri sejajar dengan negara lain dijagat raya sebagai suatu negara yang merdeka dimata internasional.
Sejak kemerdekaan itu dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama seluruh rakyat indonesia yaitu keadilan seadil-adilnya yang juga menjadi spirit perjuangan itu kemudian dirumuskan keadalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau yang sering diistilahkan dengan UUD 1945 kini. UUD 1945 itu disusun oleh suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintahan Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa dan atas pengetahuan para pendiri Negara Indonesia yang disebut dengan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI), dan kemudian disahakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jenderal Terauchi.[5]
Dalam alam pikir yang terbangun pada saat persidangan BPUPKI untuk mengodok perlengkapan negara indonesia pada saat itu menetapkan nilai keadilan berdasarkan teori keadilan apa, dan yang dicetuskan oleh filsof siapa itu belum diketahui secara pasti. Hal itu mungkin diakibatkan karena situasi pada saat itu sebagai kebutuhan kemerdekaan Indonesia sehingga tidak perlu untuk dihiraukan ataupun dibahas, namun kondisi ketidakjelasan yang dipelihara sampai sekarang tanpa satupun pencerahan dan landasan berpijak secara ilmiah yang tegas itu akhirnya secara tidak langsung sudah melahirkan pertanyaan bagi para pemerhati hukum dinegara ini terlebih khususnya para akademisi dan mahasiswa dibidang hukum kemudian.
Kondisi keberagaman Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dinegara Indonesia juga sangat mendukung pertanyaan yang dimaksudkan diatas, sebab nilai keadilan yang dipahami anatar masing-masing kelompok yang jelas akan berbeda. Jika dalam perumusan UUD 1945 mengacu pada pemikiran Bung Karno dari hasil penelitian disuatu desa dijawa barat pada saat melaksanakan perjalanan keliling kampun itu yang kemudian dihadapkan kepada kalangan publik dengan istilah Marhaneisme dan dengan meliahat paradikma beliau pada saat itu yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis atau yang diistilahkan (NASAKOM) maka mungkin  ia mengunakan konsep keadilan yang ditawarkan Karl Marx dan Fredrick Hegel, atau bahkan konsep yang ditawarkan para Filsof Hukum Islam.  Serta konsep nasionalme yang dijadikan rujukan bagi nilai keadilan dalam merumuskan UUD 1945 maka secara Sosio Kultur pandangan Bung Karno tentang keadilan akan berbeda dengan pandangan Masyarakat Adat Dayak di Pulau Kalimantan dalam hal mengartikan nilai keadilan, dan akan sangat berbeda juga dengan pandangan Masyarakat Adat Papua di Tanah Papua yang memang secara Sosiolo Kultur dan Sosio Historis tidak memiliki hubungan sama sekali dengan negara Indonesia sebab pada waktu itu Papua belum termasuk kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan melihat kondisi itu sehingga sangat membingungkan dan merupakan kekeliruan berpikir jika dalam perjalananya ada akademisi yang mengambil kesimpulan bahwa  konsep keadilan dalam Politik Hukum Indonesia telah tepat dan final mendapatkan tempat dalam pikiran semua individu diseluruh wilayah Indonesia. Jika demikian kenyataannya maka pertanyaannya adalah nilai-nilai keadilan apa dan pandangan filsuf siapa yang dipakai dalam perumusan dan penerapan politik hukum di Negara Indonesia ?.    
Perlu diketahui bahwa Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “Setuju”, tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mingikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut. Dengan demikian seseorang kemudian mmempertimbangkan “biaya psikologi” yang harus ditanggung dalam memenuhi kompensasi kesepakatan pengikat gerak sosial dan individual tersebut. Dengan pandangan dan berdasarkan kemajemukan masyarakat indonesia dengan sekian fersi keadilan yang diidamkan dalam masyarakat adat didalamnya, maka apakah negara indonesia telah mampu mengharmoniskan konflik individu-individu yang lahir diseluruh wilayah indonesia dengan perangkat hukumnya, dan apakah secara pisikologi individu-individu yang bersangkutan menerima pesan keadilan yang tersirat dalam perangkat hukum itu ?.
Dengan melihat beberapa pertanyaan yang lahir diatas sehingga untuk menemukan jawaban yang jelas terkait pertanyaan itu maka sebelumnya akan dilihat konsep keadilan yang tersirat dalam Undang-Undang UD 1945, dan dari mana konsep keadilan itu berasal. Data tertulis terkait konsep keadilan yang ditawarkan oleh soekarno pada waktu itu adalah seperti yang termuat dalam isi PANCASILA pada sila yang ke-lima yaitu; “keadilan sosial bagi seluruh rakyar indonesia”. PANCASILA sendiri digambarkan oleh para pendiri negara indonesia sebagai Ideologi Negara Indonesia sehingga tepat kemudian jika dikatakan bahwa konsep keadilan yang dimuat dalam UUD 1945 bersumber dari isi PANCASILA diatas. Untuk lebih jelasnya akan dimuat konsep keadilan yang tersirat pada alinia keempat diparagraf terakhir UUD 1945, sebagai berikut;
Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Serta Dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.[6]     
Dengan demikian maka jelas kemudian bahwa konsep keadilan yang dimuat dalam UUD 1945 adalah konsep keadilan sosial yang dimaksudkan Soekarno dalam sila ke-lima PANCASILA.



            Kosep keadilan sosial yang dimaksudkan diatas tidak memiliki definisi secara jelas dan tegas yang dimuat pada bagian lain dalam pasal-pasal dalam UUD 1945, atau dengan membuat dokumen tersendiri, atau bagaimanapun caranya untuk menjelaskannya. Kondisi itu kemudian diperparah dengan Asas Legalitas, Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori yang dianut dalam negara hukum Indonesia sehingga dalam prakteknya terkait definisi konsep keadilan sosial tersebut sudah, telah, dan akan melahirkan perdebatan karena telah mengarah pada pengartian yang ambigu dan ambifalen jika dipandangan dari kondisi sosial masyarakat indonesia yang memang beranekaragam Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).
Ada beberapa pendapat sarjana hukum terkait definisi keadilan sosial yang dimuat dalam kamus hukum, diantaranya;
1.      Keadilan sosial adalah; kerjasama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh, dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.[7]
2.      Keadilan sosial adalah; suatu bentuk keadilan dimana seluruh anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh, dan belajar hidup (Social Justice).[8] 
Berdasarkan pada dua definisi diatas, jika penilaiannya dipandang dari sisi manusia dimana secara langsung memiliki Hak Asasi Manusia dimana yang menjadi prioritas dalam merumuskan definisi diatas adalah unsur HAM yang sifatnya privasi antara penerima dan pemberi (Manusia dan Tuhan) dimana tidak ada orang yang dapat membatasi / halangi / hilangkan, dan kelangsungannya sudah menjadi kodrat manusia, dimana; setiap manusia yang lahir harus bertumbuh, karena memiliki pikiran maka manusia belajar (formal / non-formal), dan karena memiliki nafas maka hidup. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa dalam perumusan konsep keadilan sosial diatas, sangat jelas terlihat bahwa nilai keadilan yang dipakai dalam Konsep Keadilan Sosial diatas adalah rumusan Keadilan Komulatif oleh Aristoteles.
Anshori juga memberikan pendapat terkait konsep keadilan sosial dengan berpatokan pada politik hukum suatu negara untuk menjamin keadilan dalam masyarakat, beliau menyebutkan bahwa keadilan sosial (Iustitia Socialis) yang dulu disebut Keadilan Distributive (Iustitia Distributive).[9] Berdasarkan pandangan itu maka dapat disimpulkan bahwa nilai keadilan yang terkandung dalam rumusan Keadilan Sosial dalam UUD 1945 berpatokan pada konsep keadilan yang dirumuskan oleh Aristoteles.
Dengan demikian maka telah jelas bahwa nilai keadilan yang diimplematasikan dalam Konsep Keadilan Sosial pada UUD 1945 bersumber dari konsep keadilan yang dirumuskan oleh Aristoteles yaitu Keadilan Ditributiv dan Keadilan Komulatif.
Dalam proses perumusannya, Kedua konsep keadilan Aristoteles yang diadopsi oleh Soekarno dan kemudian dipadukan dengan kepentingan politik rakyat Indonesia yang sedang berjuang untuk membentuk negara Indonesia yang merdeka pada saat itu, serta dengan berlandaskan pada sosio kultur rumpun melayu dipulau Jawa, Bali, dan Sumatra. Akhirnya beliau menyimpulkan gagasan itu kedalam satu Konsep Keadilan yang disebut Keadilan Sosial dalam sila ke-5 Ideologi Kemerdekaan Indonesia yaitu PANCASILA.

C.    KONDISI UMUM TANAH PAPUA
Sejak dahulu nenek moyang masyarakat adat papua telah menempati, dan beranakcucu  diatas tanah papua sampai sekarang, struktur sosial yang terbangun disana adalah berdasarkan kelompok adat atau yang sekarang diistilahkan dengan Masyarakat adat. masyarakat adat Papua telah mengenal aturan sejak pertama kali mereka disana, kondisi itu bisa terlihat dalam keteraturan hidup mereka diwilayah adatnya masing-masing sehingga dapat mengantarkan mereka bisa hidup dengan damai, dan harmonis anatara masyarakat adat satu dan lainnya dan antar sesama anggota suatu kelompok diatas tanap Papua. Hasil pengalian purbakala yang dilakukan oleh para peneliti asing dari Universitas Groninggen, Belanda di Goa Krie dan Troe dipingiran Danau Vogelkoop (kini, Danau Aitinyo) dan menemukan sisa-sisa makanan, tulang, sisa hasil pembakaran, dan tungku api disimpulkan bahwa Masyarakat Adat Papua telah berada dan bermukim diatas tanah Papua sejak jaman pleistocene (Berakhirnya Jaman Es).
Dalam kehidupan Masyarakat Adat Papua sangat jarang terjadi Kasus yang mengarah pada ketidakadilan, sekalipun dalam kondisi yang tegang seperti dalam situasi perang kelompok (yang sering disalahartikan dengan perang suku) mereka masih berpegang pada keadilan sebab terkesan telah ada Prinsip Humaniter pada saat itu. Kondisi diatas telah membuktikan bahwa mereka telah memiliki konsep keadilan dalam norma-norma yang tumbuh, hidup, dan berkembang bersama-sama dengan mereka (kini, Hukum Adat). Salah satu kasus yang belum pernah terjadi dalam masyarakat adat papua sejak dahulu sampai sekarang adalah Kasus Penyerobotan Tanah antar masyarakat adat, dan antar klen dalam satu kelompok masyarakat adat karena secara kolektif semua masyarakat adat Papua telah mengetahui secara jelas batas-batas wilayah ulayat masing-masing. Secara praktek masyarakat adat papua memiliki konsep tentang keadilan seperti konsep keadilan yang dirumuskan oleh Plato.
Secara sosio kultur masyarakat adat papua tidak memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat lainnya diluar pulau papua, ataupun sebaliknya masyarakat luar papua juga tidak mimiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan masyarakat adat papua. Adalah kebohongan publik yang terungkap dalam pandangan soekarno yang menegaskan bahwa wilayah papua adalah wilayah kerajaan majapahit pada masa kejayaannya Pengeran Gajah Mada, jika demikian maka sebagai bukti bekas kerajaan mestinya terdapat candi, atau benteng, atau makam, atau lain sebagainya yang masih terlihat agar menjadi bukti kuat pandangan soekarno itu.
Kehadiran pelaut asing Ortisan De Menetz pada tahun 1518 di pantai utara papua dan kemudian memberikan nama pulau itu dengan sebutan Nova Guinea atau Guinea baru karena terispirasi atas kemiripan ciri-ciri tubuh warga papua dengan warga Guinea Bisau di Benua Afrika yang sebelumnya dijumpainya semakin menambah kejelasan bahwa memang Soekarno serakah dan telah melakukan pembohongan publik kepada masyarakat Indonesia untuk meloloskan dan/atau mewujudkan mimpinya yang terispirasi dari pertujukan pagelaran wayang kulit yang ditonton pada masa kecilnya, mungkin. Ambisi soekarno itu benar-benar telah sukses menghancurkan Sosio Histori dan Politik Histori masyarakat adat papua yang sudah, sedang, dan akan  terbentuk.
Politik Histori Indonesia telah membuktikan bahwa masyarakat adat papua tidak pernah ikut berjuang bersama-sama dengan Rakyat Indonesia untuk mengusir Kolonial Belanda dan memiliki cita-cita bersama untuk mendirikan Negara Indonesia. Sebagai buktinya adalah pada saat pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 tidak ada satupun masyarakat adat papua yang menyatakan sikap bersama dengan Jong Sumatera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Borneo, Dan Jong Amboina sebagai; Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia, dan Satu Tanah Air Indonesia. Adalah kekeliruan jika kemudian ada yang mengatakan bahwa Jong Amboina sudah mewakili masyarakat adat papua, sebab secara Sosio Kultur dan Sosio Histori keduanya berbeda.
Masyarakat Adat Papua menyakini bahwa mereka memiliki politik histori yang berbeda dengan rakyat indonesia, walaupun sama-sama dijajah oleh Belanda. Hal itu dapat terlihat jelas dalam sikap dan perlakuan kolonial belanda terhadap kedua wilayah antara Nederland Nieuw Geinea (Papua), dan Hindia Belanda (Indonesia).     
Sampai sekarang secara Sosio Kultur masyarakat adat papua masih mengakui, menghargai, dan menjalankan norma-norma yang hidup, tumbuh, dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat adat papua. Kondisi norma-norma itu telah menjadi Jati Diri Setiap Orang Papua sehingga keberadaannya akan terus ada sepanjang orang papua itu masih ada diatas muka bumi ini, artinya secara otomatis pandangan nilai keadilan yang dihayati Masyarakat Adat Papua akan terus ada mengikuti mereka didalam alam pemikirannya.     
  
D.    PENERAPAN NILAI KEADILAN DI TANAH PAPUA
Nilai keadilan yang tumbuh subur dalam benak masyarakat adat papua kemudian diguncangkan oleh kehadiran bangsa asing (Eropa, Indonesia) dengan mengunakan beberapa media yaitu agama dan sistim pemerintahan. Dari kedua media diatas, yang sedikit memberikan ruang bagi nilai keadilan yang diyakini masyarakat adat papua adalah agama sedangkan kehadiran sistim pemerintah benar-benar menghancurkan, menghaguskan, dan menghilangkan nilai keadilan yang dihayati oleh masyarakat adat papua.
Berdasarkan kenyataan sejara ditanah papua sebelum diterapkan sistim pemerintahaan indonesia, telah diberlakukan sistim pemerintahaan belanda. Dalam mengimplementasikan sistim pemerintahan antara keduannya terdapat perbedaan yang sangat jauh, ibarata langit dan bumi.
Pemerintah Belanda dalam meng-implementasi-kan sistim pemerintahannya terkesan membumi dan sedikit membuka ruang bagi diberlakukannya nilai keadilan yang terkandung dalam masyarakat adat papua, sebagai contoh yang sanggat riel adalah mereka mendidik generasi muda papua dan membuka ruang demokrasi bagi mereka dengan menciptakan Nieuw Guinea Raad (NGR) atau Dewan Nieuw Guinea, membagikan wilayah papua kedalam 7 (tujuh) wilayah besar sesuai dengan sosio cultur masyarakat adat papua, dan tidak penah memaksakan masyarakat untuk memusnahkan atribut budayanya dengan cara membakar, dan dalam pengambilan kebijakan dan penetapan baik ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dilakukan di wilayah Papua 
Pemerintah Indonesia dalam meng-implemetasi-kan sistim pemerintahannya terkesan melangit dan tidak membuka ruang bagi diberlakukannya nilai keadilan yang terkandung dalam masyarakat adat papua, sebagai contoh yang sanggat riel adalah dalam penerapan sistim pendidikan didikte melalui sistim kurikulum dan dalam implementasinya tidak memasukan unsur budaya kedalamnya seperti pelajaran bahasa daerah, terkesan mempraktekkan kembali Politik De Vide Et Impera dengan cara memekarkan wilayah atministrasi yang tidak sesuai dengan kondisi sosial yang terbangun, menyumbat ruang demokrasi dan HAM dengan tangan besi, memusnahkan atribut budaya papua dengan cara membakarnya dan mengelar rasia yang dikemasan dengan Operasi Koteka (DOM), dan dalam pengambilan kebijakan dan penetapannya baik ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dilakukan diluar wilayah papua atau lebih tepatnya di Jakarta. 

Perlu diketahui bahwa jauh sebelum diterapkannya sistim pemerintahan dari kedua negara diatas, masyarakat adat papua telah memiliki sistim pemerintahan adat yang menjadi pedoman hidup mereka. Implementasinya sangat efektif menyelamatkan, menyelaraskan, dan mengimbangi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sehingga menciptakan suatu struktur kehidupan yang harmonis, teratur, ramah, dan sehat.
Kehadiran kedua sistim pemerintahan diatas juga berbeda dimana pemerintahan Belanda pada akhir tahun 18-an, sedangkan kehadiran pemerintahan Indonesia sedikit berfariasi akibat ketegangan politik Belanda, Indonesia, dan Papua sehingga mengundang perhatian internasional. Akhirnya untuk mengatasi persoalan itu PBB mendeklarasika The New Yoork Agreemend sebagai prodak hukum internasional untuk menyelesaikan konflik politik tersebut. Berdasarkan letak wilayah dan pertimbangan politik ekonomi secara tesembunyi pada tanggal 1 Mei 1963 untuk menjalankan pengawasan dan atministrasi pada massa kekosongan kekuasaan itu berdasarkan kebijakan internasional, PBB menyerahkan wilayah papua kepada pemerintah indonesia namun sifatnya sementara sampai pada pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.[10] Secara detail massa pemerintahaan indonesia pada waktu itu terhitung dari tanggal 1 Mei 1963 – 1969 walaupun demikian penandatangganan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada tanggal 7 April 1967 antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana status wilayah papua masih dikategorikan sebagai wilayah sengketa Internasional. Pada tahun 1969 secara resmi sistim pemerintahan indonesia diterapkan diseluruh Tanah papua.
Sejak tanggal 1 Mei 1963 – 2012 sistim pemerintahan indonesia dan secara otomatis nilai keadilan yang terkandung didalamnya mulai diterapkan diseluruh Tanah Papua. Dengan melihat kenyataan hidup pertarungan akan dua nilai keadilan itu terus bertarung, namun pertarungannya kurang adil karena sistim hukum yang menjadi wadahnya hanya memberikan ruang bagi nilai keadilan yang dominan, disamping itu maraknya penegak hukum yang tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya sehingga implementasi nilai keadilan yang ideal sesuai dengan yang digagaskan oleh dua toko filsof yunani ternama Aristoteles, dan Plato diubah menjadi selir bagi raja (pemegang kuasa) di negara Indonesia. Lantas nilai keadilan seperti apa yang sudah, sedang, dan akan dipraktekkan di Tanah Papua ?.      



E.     KESIMPULAN
Berdasarkan carut marut sejara politik Indonesia di Tanah Papua yang bermuatan kepentingan ekonomi politik, dan pandangan nilai keadilan Masyarakat Adat Papua sangat jauh dari nilai keadilan sosial dalam sistim pemerintahan indonesia yang kemudian menciptakan dua kutub yang salaing berlawanan dan sampai sekarang belum mendapatkan jalan keluarnya. Sebagai contoh dalam prakteknya berdasarkan hukum pemerintah indonesia melihat Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah Separatis sehingga banyak dari antara mereka yang dipenjarakan, disiksa, diintimidasi, diteror, dan bahkan dibunuh tanpa melihat dan/atau menghargai DUHAM (Deklarasi Umum Tentang Hak Asasi Manusia) atau UU 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan UUD 1945. Sikap itu menurut sistim pemerintahan indonesia dibenarkan dan adalah sebuah keadilan politik,[11] karena ada pihak yang sedang merong-rong wilayah kedaulatan NKRI.
Walaupun demikian orang papua dengan pandangannya yang berlandaskan pada nilai keadilan yang diyakini oleh masyarakat adat papua menilai bahwa sikap dan tindakan Pemerintah Indonesia adalah suatu Tindakan Kerakusan, Keserakaan, dan Kenafsuan yang berlebihan sehingga dengan seenaknya menciptakan Produk Keadilan Politik untuk membenarkan tindakan mereka yang bertentangan Nilai Keadilan, Fakta Sejara, Sosial Cultur, dan Tinggi akan Pelanggaran HAM.
Secara hakiki sikap pemerintah indonesia itu telah memperkosa nilai keadilan yang sebenar-benarnya sebab keadilan tidak bermandi darah, keadilan bukan lahir dari sebuah ruangan yang busuk seperti senayan, keadilan juga tidak menghilangkan nyawa manusia karena seperti kata pepatah bahwa setajam-tajamnya pedang keadilan tidak dapat melukai orang yang tidak bersalah”.
Dengan demikian maka nilai keadilan yang terpraktekan melalui penerapan sistim pemerintahan indonesia adalah Nilai Keadilan Politik Kepentingan Negara Kesatuan Indonesia di Tanah Papua.




[1] Anshori, Filsafat Hukum, Gadja Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2006., Hal. 49
[2] Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Pramita, Jakarta, Hal. 1
[3] Anshori, Filsafat Hukum, Gadja Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2006., Hal. 67
[4] Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal. 331
[5] Selengkapnya baca; Soehino, HUKUM TATA NEGARA “Undang-Undang Dasar Yang Pernah Berlaku dan Sedang Berlaku di Negara Republik Indonesia”., BPFE, Jogjakarta, Edisi Pertama 2011., Hal 1 - 2
[6] Ibid., Hal. 6 – 7
[7] Prajogo, KAMUS HUKUM Internasional dan Indonesia, Wacana Intelektual, 2007, Hal. 239
[8] Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal. 331
[9] Anshori, Filsafat Hukum, Gadja Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2006., Hal. 151
[10] Hasil PEPERA 1969 dinilai Cacat Hukum Internasional karena Implementasinya tidak sesuai dengan yang diatur dalam The New Yoork Agreemend, seperti Diwajibkan Satu Orang Satu Suara (One Men One Vote) dalam pelaksanaan PEPERA, namun yang diimplentasikan dengan mekanisme Indonesia yaitu dengan cara musyawara Mufakat yang tidak pernah dimuat dalam The New Yoork Agreemend, sehingga dari jumlah orang papua yang berjumlah 600.000 jiwa yang ikut memilih adalah hanya sebanyak 1025 Orang. Selain itu dalam pelaksanaannya diliputi dengan Kekerasan Militer (Pelanggaran HAM) pasca diberlakukannya status (Daerah Operasi Militer) sejak TRIKORA diluncurkan pada tanggal 19 Desember 1961, di Alun-Alun Utara, Yogyakarta.
[11] Keadilan Politik adalah Keadilan yang lahir berdasarkan kepentingan politik sebuah negara.